Minggu, 22 November 2009

Kesaksian Hendrik : Banyak Tim Terlibat Pembunuhan Nasrudin


Ini adalah kutipan berita dari detikcom, 17 November 2009:
Eksekutor pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Hendrikus Kia Walen, menolak bersaksi di sidang Wiliardi Wizar. Hendrikus merasa dizalimi karena banyak tim yang terlibat pembunuhan Nasrudin namun tidak disidang.
“Kami meminta keadilan Majelis Hakim. Begitu banyak tim yang dilibatkan tetapi tidak semua dihadapkan ke pengadilan. Saya merasa dizalimi,” kata Hendrikus.
Hal ini disampaikan dia saat memberikan kesaksian dalam sidang dengan terdakwa Wiliardi Wizar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (17/11).
Pria yang akrab disapa Hendrik ini berpendapat yang telah dilakukannya adalah tugas negara. “Kami merasa ini tugas negara karena tugas di lapangan dibicarakan di Mabes Polri. Saat konfirmasi pun, itu petugas,” ujar dia
“Saudara ke Mabes Polri?”, kata Ketua Majelis Hakim Arta Theresia.
“Tidak. Itu kata Saudara Edo. Saudara Edo yang ke sana. Saya menolak memberikan keterangan yang bisa mengancam jiwa saya,” kata Hendrik.
“Siapa yang mengancam, jangan takut kalau belum waktunya kalian akan selamat. Tidak akan mati,” bujuk Arta.
Hendrikus hanya diam.
“Saya mencabut BAP saya,” cetus dia.
Kuasa hukum Wiliardi Wizard, Apolos Djara Bonga, juga mempertanyakan pernyataan Hendrikus terkait banyaknya tim yang dilibatkan dalam pembunuhan Nasrudin.
Dia mengaku tidak tahu tim yang dimaksud oleh Hedrikus.
“Itu yang kita pertanyakan. Kita juga ingin tahu siapa yang mengancam-ancam itu,” kata Apolos.
Hadiatmoko Bantah Tekan Wiliardi
Mantan Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol Hadiatmoko membantah telah menekan Wiliardi Wizar dalam pembuatan BAP. Hadiatmoko hanya mengkonfirmasi Wili apakah kenal dengan eksekutor Edo dan menyerahkan sesuatu pada seseorang di lapangan bowling Ancol.
“Faktanya tidak seperti itu,” ujar Hadiatmoko dalam persidangan dengan terdakwa Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Selasa (17/11). Hal itu disampaikan Hadiatmoko menjawab pertanyaan hakim Herry Swantoro apakah selama penyidikan pihaknya menekan Wili.
Menurut Hadiatmoko, konfirmasi terhadap Wili dilakukan pada 28 April 2009. Pada pukul 18.00 dia mendapat telepon dari Dirkrimum Polda Metro Jaya yang isinya adalah ada info yang segera ditindaklanjuti.
“Pukul 21.00 WIB seorang Wakil Dirkrimum Polda Metro dan Daniel menyerahkan foto Jerry dan Edo di mana sebelumnya saya sampaikan kepada Kapuspaminal (Kepala Pusat Pengamanan Internal) bahwa ada keterlibatan seorang perwira menengah Mabes Polri untuk segera dilakukan kroscek,” jelas Hadiatmoko.
Hadiatmoko menuturkan, pada pukul 21.00 WIB Kapuspaminal mencari Wiliardi di Tangerang. Wiliardi lalu sampai di Polda Metro pukul 22.00 WIB.
“Terus saya tanya apa kenal dengan foto ini, dia bilang tidak. Saya tanya lagi apakah kenal dengan Saudara Edo, dia bilang tidak. Lantas saya tanyakan apakah Pak Wili menyerahkan sesuatu pada seseorang di lapangan bowling Ancol, dia bilang tidak. Saya bilang ya sudah berarti Pak Wili tidak terlibat. Selanjutnya saya serahkan ke Kapuspaminal,” kata staf ahli Kapolri ini.
“Seandainya dia mengaku pasti saya serahkan pada reserse,” imbuh dia.
“Jadi Saudara tetap pada keterangan Saudara?” tanya hakim.
“Iya,” kata Hadiatmoko.
“Apakah tanggal 28 malam itu istri Wili hadir?” tanya hakim lagi.
“Tidak hadir,” kata Hadiatmoko.
“Apakah Saudara pernah datang ke Polda Metro?” tanya hakim.
“Saya belum pernah datang sama sekali,” kata Hadiatmoko.
“Saudara pernah dilapori perkembangan kasus ini?” tanya hakim.
“Tidak. Reserse atasannya langsung itu Kapolda, bukan Kabareskrim,” tegas Hadiatmoko.
Wiliardi sebelumnya menyebut penahanan Antasari Azhar telah dikondisikan. Dia juga mengaku pejabat Polri (Irjen Hadiatmoko dan Kombes M Iriawan) telah mengarahkan agar dia membuat keterangan bahwa Antasari terlibat dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Selain Hadiatmoko, Iriawan Juga Bantah Tekan Wiliardi
Kesaksian mengejutkan yang disampaikan oleh Wiliardi Wizar di persidangan pekan lalu kembali mendapat bantahan. Setelah mantan Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol Hadiatmoko, kali ini giliran mantan Dirkrimum Polda Metro Brigjen Pol M Iriawan yang menampik tuduhan tersebut.
“Yang ada, tanggal 30 (April 2009) saya sore hari saya bersama AKBP Tornagogo Sihombing (Wadirkrimum Polda Metro), AKBP Nico Afinta (Kasat Jatanras Polda Metro Jaya) makan di (Restoran) Mandala. Yang bersangkutan (Wiliardi) SMS ingin bertemu. Tapi kebetulan saya tidak bisa bertemu,” Iriawan.
Iriawan mengatakan itu saat diperiksa sebagai saksi bagi persidangan Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Selasa (17/11).
Iriawan menerangkan antara dirinya dan Wiliardi sudah saling kenal. Mereka berdua sempat tergabung dalam kesatuan yang sama. Mereka juga pernah sama-sama belajar di Sespati.
Namun, Iriawan mengaku sempat bertemu dengan Wiliardi tanggal 30 April di ruangan Kaden Provost. Saat itu Wiliardi meminta agar perannya di dalam kasus ini dapat dirubah.
“Kamu kan kawan saya, bantu saya, Wan. Itu kan ada Jerry dan Edo, tolong gunting (perannya dipotong),” kata Iriawan menirukan permintaan Wiliardi.
Permintaan tersebut tidak diindahkan oleh Iriawan. Mendengar penolakan, menurut Iriawan, Wiliardi terlihat sangat terpukul.
Iriawan kemudian segera melaporkan hal tersebut kepada Wakabareskrim dan Kapolda Metro Jaya. Penolakan yang dilakukan Iriawan tersebut juga disaksikan beberapa polisi lainnya.
Wiliardi Mohon Eksekutor Mau Bersaksi
Tidak hanya Heri Santoso, Daniel Daen Sabon dan Hendrikus Kia Walen juga menolak menjadi saksi bagi Kombes Pol Wiliardi Wizar. Alasannya sama, mereka mengaku tidak pernah diperiksa sebagai saksi bagi Wiliardi.
Dalam persidangan yang menghadirkan Daniel, hakim Arta Theresia sempat sedikit emosi karena Daniel enggan bersaksi dan memberikan jawaban tidak jelas dan serba terputus-putus.
“Gentleman dong, Saudara berani berbuat harus bertanggung jawab. Setiap perbuatan ada konsekuensinya ada yang bagus atau yang buruk. Hidup adalah pilihan,” ujar Arta dalam persidangan di PN Jakarta Selatan.
Sebelumnya dalam persidangan itu JPU memperlihatkan barang bukti antara lain pistol revolver, beberapa butir peluru. Namun kembali Daniel menolak bersaksi.
Uniknya, saat Daniel hendak keluar majelis hakim menolak bersalaman. Mereka hanya mengangguk pada Daniel.
Saat dimintai tanggapannya, Wiliardi pun meminta agar para eksekutor ini mau memberikan kesaksiannya.
“Saya mohon dengan sangat, ini menyangkut nasib saya. Saya memohon dengan sangat,” ujar mantan Kapolres Jakarta Selatan ini.
Namun Hendrikus yang hadir, tetap menolak memberikan keterangan.
“Aku menolak bersaksi, Yang Mulia Majelis Hakim,” ujar pria asal Flores ini.

Kamis, 19 November 2009

Ada 'Tim Lain' yang Menembak Nasrudin ??

Pengakuan semua terdakwa kasus pembunuhan terhadap Nasrudin membeberkan pengakuan mengejutkan. Mereka tak pernah diperintahkan membunuh, kecuali membuntuti. Anehnya, menurut pengakuan mereka, di 'lapangan', ternyata ada 'tim' lain yang juga bergerak. Dengan mobil, sepeda motor, lengkap dengan senjata. Mereka tahu pasti siapa dan dari mana mereka, tapi mereka bungkam karena sadar, mulutmu bisa menjadi harimaumu.
Dengan hati-hati, mereka masih menyimpan fakta ini dan mungkin di persidangan-persidangan selanjutmnya, Hendrikus Kia Walen, Amsi Kerans, juga Edo dll akan merinci tuntas apa yang sebenarnya terjadi.
Kecurigaan menyeruak (seperti dilaporkan Metro Realitas), ada tim elit -katakanlah snipper, entah dari mana atau dari kelompok mana, atau dari kesatuan mana,yang beraksi membantai Nasrudin. Bila semua ini benar, kedok konspirasi kriminalisasi KPK kian mengental, dan semakin menyudut tajam. Siapa yang punya kepentingan besar di balik semua ini ???
Semoga kasak kusuk ini sgera berhenti seiring kejelasannya ..!

Rabu, 18 November 2009

Bola Panas di Kaki SBY


Sehabisnya Tim 8 serahkan hasil ujinya terhadap serangkaian fakta dan data di balik kasur ranjang kasus gontok-gontokan KPK-Polri-Kejagung, bola panas kini di kaki SBY. Boro-boro memainkan bola, rupanya Bapak SBY masih banyak pikir dan untuk sementara memilih tidak mengeksekusi bola, tapi memberi kesempatan kepada Polri dan Kejagung untuk memainkannya.
Takut salah tendang, keduanya masih belum mengambil sikap. Ancang-ancang sudah diambil, tapi tidak jelas ke mana bola mau diarahkan. Sementara, Susno Duaji yang berdiri persis di belakang punggung Kapolri mencuri-curi pandang: sesewaktu, lama-lama bola ini kutendang sendiri.. Mungkin begitulah pikirnya.
Sementara dari suatu tempat, Anggodo dan Anggoro : sang 'pemilik klub' menonton dari jauh. Tentu saja ada laaah instruksi ini dan itu, tapi siapa yang tau, hehe ?
Kong kali kong dan pat gulipat, toh haqul yaqin laah kalo besok, lusa, tula, taon depan, sampe abis masa jabatan SBY, kasus ini tak akan pernah jelas ujung rimba.
kecuali : ada yang siap berkorban atau ada yang siap dikorbankan. Nahhh!!!

Selasa, 10 November 2009

Anggodo Mau Ngatur SBY



Anggodo Mau Ngatur SBY ??? Wah apa lagi nih ??
Seakan mau menunjukkan taringnya, Anggodo tidak takut dan ancaman sejuta facebookers tidak mempan. Setelah memperdayai bos-bos di Mabes Polri dan di Gedung Bulat Kejagung RI, giliran ANggodo mencerca Tim 8 / TPF pimpinan Adnan Buyung Nasution.
Tidak tanggung-tanggung, Anggodo menuduh TPF 'berat sebelah', cenderung pro KPK karena KPK disinyalir mempetieskan sebuah kasus yang menyeret nama anak dari Adnan Buyung.
Parahnya, Anggodo tidak canggung meminta Presiden SBY meninjau netralitas anggota TPF dan meminta orang-orang seperti Adnan dihapus dari keanggotaan TPF.
Gila juga ni Anggodo, sudah mencatut nama SBY tidak ada yang berani nuntut, sekarang malah menuntut macam-macam dari seorang SBY.
Akankah SBY memenuhi permintaan sang Cukong???

Kesaksian Wiliardi Wizar untuk Antashari


Gonjang-ganjing hukum di negeri ini persislah yang diparodikan di beberapa teve swasta. Semacam banyolan murahan yang dimainkan tanpa basa-basi, tanpa malu-malu dan selalu berujung-ujung pada DUIT.
Belum reda persoalan kisruh KPK-POLRI-KEJAGUNG-DPR-TPF, muncul berita menarik terbaru : Wiliardi Wizar dalam kesaksian nya di pengadilan untuk kasus ANtashari membatalkan semua keterangannya di BAP Polisi dan mengakui keterlibatan petinggi POLRI merekayasa kasus Antashari.
Wah, ada apa lagi ini ... Semuanya semakin membuatku yakin bahwa apa yang aku tanyakan tidaklah salah : uDang sebesar apa sih di balik semua ini ???

Rabu, 04 November 2009


Mundur

Pagi ini "bos" Susno dan "bang" Ritonga meminta mundur dari kursinya. Ada yang aneh dari berita ini. Institusi bekerja lamban merespon kegelisahan publik. Benar kata pak SBY bahwa semua harus berjalan di atas rel hukum. Tapi itu tak berarti mengaburkan semangat penegakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dalam rangka penegakan hukum itu sendiri. Bahwa seseorang diberhentikan dari jabatan atau dinonaktifkan dari posisinya bukanlah sebuah dosa, sekalipun belum tentu orang itu bersalah. Sama halnya, penangkapan dan penahanan terhadap Bibit-Chandra, (walau sudah ditangguhkan), adalah sesuatu yang di luar akal sehat, sekalipun juga belum tentu Bibit-Chandra adalah benar.
Anehnya, begitu cepat respon untuk menonaktifkan atau kasarnya memenjarakan pimpinan KPK, tetapi lamban sekali merespon terhadap 'anak buahnya sendiri'.
Persoalan "bos" Susno dan "bang" Ritonga meminta mundur adalah sebuah kondisi memalukan dari kinerja para elit eksekutif. Harusnya tercatat juga dalam sejarah : "Diperintahkan nonaktifkan semua yang terlibat untuk diusut kasusnya demi hukum." Selesai. Tapi kok jadi susah ya ???

Kamis, 06 Agustus 2009

Biografi WS Rendra dan Sajak Sebatang Lisong……


Biografi WS Rendra dan Sajak Sebatang Lisong……
WS Rendra bernama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah pada 7 November 1935. Rendra menempuh pendidikan Sastra Inggris – Universitas Gajah Mada lalu mendapat beasiswa melanjutkan studi di American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1964 – 1967).
Dikenal oleh banyak sastrawan, budayan dan seniman, karya WS Rendra disejajarkan dengan Chairil Anwar. Selain karyanya, Alm. Rendra piawai dalam membacakan sajak serta melakonkan seseorang tokoh dalam dramanya sehingga membuatnya menjadi seorang bintang panggung yang dikenal oleh seluruh anak negeri hingga ke mancanegara. Sebagai sastrawan dan penyair ternama, ia dijuluki sebagai “Burung Merak“.
WS Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri.
Sejak kuliah di UGM, ia telah giat menulis cerpen dan essei di berbagai majalah seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Kisah, Basis, Budaya Jaya. Di kemudian hari ia juga menulis puisi dan naskah drama. Sebelum berangkat ke Amerika, ia telah banyak menulis sajak maupun drama di antaranya, kumpulan sajak Balada Orang-orang Tercinta serta Empat Kumpulan Sajak yang sangat digemari pembaca pada jaman tersebut. Bahkan salah satu drama hasil karyanya yang berjudul Orang-orang di Tikungan Jalan (1954) berhasil mendapat penghargaan/hadiah dari Departemen P & K Yogyakarta.
Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, pria tinggi besar berambut gondrong dengan suara khas ini mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Memimpin Bengkel Teater, menulis naskah, menyutradarai, dan memerankannya, dilakukannya dengan sangat baik. Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa sangat aktif di tahun 1978, membuat pria bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ini pernah ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Demikian juga pementasannya, ketika itu tidak jarang dilarang dipentaskan. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.
Di samping karya berbau protes, Rendra juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya. Banyak karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak. Bahkan di antara sajak-sajaknya ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.
Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya pada acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke 118 Mahatma Gandhi pada tanggal 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial International School Jakarta. Ketika itu penampilannya mendapat perhatian dan sambutan yang sangat hangat dari para undangan. Demikianlah salah satu contohnya ia secara langsung telah berjasa memperkenalkan sastra Indonesia ke mata dunia internasional.
Beberapa sajak WS Rendra adalah Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak), Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Jangan Takut Ibu, Mencari Bapak, Nyanyian Angsa, Sajak Seonggok Jagung, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api dan berbagai drama.
Menyinggung mengenai teori harmoni berkeseniannya, ia mengatakan bahwa mise en scene tak lebih sebagai elemen lain yang tidak bisa berdiri sendiri, dalam arti ia masih terikat oleh kepentingan harmoni dalam pertemuannya dengan elemen-elemen lain. Lebih jelasnya ia mengatakan, bahwa ia tidak memiliki kredo seni, yang ada adalah kredo kehidupan yaitu kredo yang berdasarkan filsafat keseniannya yang mengabdi kepada kebebasan, kejujuran dan harmoni.
Sajak Sebatang Lisong
Belum genap 1 minggu, Mbah Surip mendahului salah satu sahabatnya (WS Rendra), kini sahabatnya menyusul dan Indonesia kembali kehilangan seorang sastrawan yang berkaliber internasional. Pada tanggal 6 Agustus 2009, Willi (panggilan dekat bagi WS Rendra) meninggal dunia di kediaman putrinya Clara Jakarta pada umur 73 tahun.
Salah satu karyanya yang sangat fenomenal bagi saya adalah syair yang dibacakan (Alm) WS Rendra pada 19 Agustus 1977 yang dipersembahkan untuk menyemangati mahasiswa ITB. Syair tersebut berisi kritik sekaligus penyemangat pergerakan mahasiswa. Syair itu diberi nama “Sajak Sebatang Lisong”.
Sajak Sebatang Lisong karya WS Rendra
Menghisap sebatang lisong
Melihat Indonesia Raya
Mendengar 130 juta rakyat
Dan di langit
Dua tiga cukong mengangkang
Berak di atas kepala mereka
Matahari terbit
Fajar tiba
Dan aku melihat delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
Aku bertanya
Tetapi pertanyaan – pertanyaanku
Membentur meja kekuasaan yang macet
Dan papan tulis – papan tulis para pendidik
Yang terlepas dari persoalan kehidupan
Delapan juta kanak – kanak
Menghadapi satu jalan panjang
Tanpa pilihan
Tanpa pepohonan
Tanpa dangau persinggahan
Tanpa ada bayangan ujungnya
Menghisap udara
Yang disemprot deodorant
Aku melihat sarjana – sarjana menganggur
Berpeluh di jalan raya
Aku melihat wanita bunting
Antri uang pensiunan
Dan di langit
Para teknokrat berkata :
Bahwa bangsa kita adalah malas
Bahwa bangsa mesti dibangun
Mesti di up-grade
Disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung – gunung menjulang
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
Protes – protes yang terpendam
Terhimpit di bawah tilam
Aku bertanya
Tetapi pertanyaanku
Membentur jidat penyair – penyair salon
Yang bersajak tentang anggur dan rembulan
Sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
Dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
Termangu – mangu di kaki dewi kesenian
Bunga – bunga bangsa tahun depan
Berkunang – kunang pandang matanya
Di bawah iklan berlampu neon
Berjuta – juta harapan ibu dan bapak
Menjadi gemalau suara yang kacau
Menjadi karang di bawah muka samodra
Kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
Diktat – diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
Kita mesti keluar ke jalan raya
Keluar ke desa – desa
Mencatat sendiri semua gejala
Dan menghayati persoalan yang nyata
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat
Apakah artinya kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya berpikir
Bila terpisah dari masalah kehidupan
………………………………….

Jumat, 31 Juli 2009

Biografi Chairil Anwar (1922 – 1949)


Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Sabtu, 25 Juli 2009

Terorisme - Bom Bunuh Diri: Demi Surga Di Pelupuk Mata


Ledakan bom kembali terjadi untuk ke sekian kalianya. Jumat, 17/7, Hotel JW Marriot Jakarta dan Ritz Carlton, dua hotel bintang lima bertaraf internasional yang dikenal sangat secure dalam pengamanannya justru terjadi ledakan bom hanya berselang sekitar dua belas menit pada pagi hari.
Ledakan bom ini kembali mengguncang rasa kesadaran sebagai warga setelah sekitar lima tahun terakhir tidak lagi terdengar. Peledakan bom ini menjadi keprihatinan semua masyarakat beradab karena sungguh sangat mengoyak nilai dan rasa kemanusiaan. Sudah tak terhitung kejadian dan peristiwa semacamnya meluluhlantahkan segenap aset dengan kerugian tak terkira, dan susul menyusul sesudahnya, korban sesama manusia pun berjatuhan, tanpa mereka sendiri kehendaki.
Diduga kuat, peledakan terjadi lewat bom bunuh diri yang melukai sekitar 53 orang dan menewaskan 9 orang, beberapa di antaranya warga negara asing. Di lokasi ledakan Hotel Marriott kamar 808, ditemukan bom aktif dalam sebuah laptop. Pelaku peledakan ditenggarai menginap di hotel ini selama tiga hari.
Peledakan bom kali ini, merupakan modus baru terorisme terkini. Artinya, ada peningkatan pola dan gaya kerja para teroris. Dari menggunakan mobil seperti di bom Bali I, bom Marriot I, Kedubes Australia, meningkat dengan pola bom bunuh diri seperti di bom Bali II, dan kini meningkat lagi dengan masuk ke dalam lalu meledakan bom. Patut diduga, bom itu berhasil diledakan dengan melibatkan orang dalam (karyawan hotel), setidaknya memberi peluang.
Dari bahan bom dan pola terorisme yang digunakan, untuk sementara disimpulkan, jaringan terorisme internasional, Al Qaedah, kini masih berada dan beroperasi di Indonesia. Organisasi sayap dari terorisme ini disebut Jamaah Islamyah, yang merkrut dan melatih para kadernya sebagai teroris terkini, yang berhasil mengepakkan sayapnya hingga ke seluruh kawasan Asia Tenggara. (tentang JI ini, bisa diikuti tulisan di media ini pada edisi mendatang).
Polisi mensinyalir, JI ring dari Cilacap dan Palembang berada di balik kejadian ini. Artinya, ideologi yang melatari aksi para pelaku bom sesungguhnya telah menjadi sebab dari rangkaian peristiwa peledakan bom dan kekerasan, yang sudah terjadi di sebagian besar wilayah nusantara. Diketahui, selain kedua tempat di atas, ring Semarang, Yogyakarta, Solo dan Banten berada di bawah pengaruh Noordin M Top, salah satu tokoh utama teroris di Indonesia selain Zulkarnaen, Dulmatin dan Umar Patek yang dilansir kini berada di Filipina.
Gembong teroris ini berkewarganegaraan Malaysia, tapi lari ke Indonesia setelah diberlakukan ketentuan keamanan dalam negeri (NSA) di negara itu. Sebelumnya, dia berkerja sebagai guru dan sempat mengajar di Pesantren Lukmanul Hakiem di Johor Baru tempat Abubakar Ba’ayir berdakwa dan masuk menjadi anggota dari Jamaah Islamyah yang dipimpin Ustad Ba’ayir. Dia sendiri bukan alumni Afganistan. Noordin memiliki keahlian merakit bom yang diperoleh dari tempat pelatihannya di Moro, Filipina Selatan dan belajar lewat Dr. Azahari, teroris yang sudah ditembak mati di Malang beberapa tahun lalu. Sumber intelijen menyebut, saat ini Noordin M Top menjadi Komandan Al Qaedah di Asia Timur termasuk Indonesia.

Bangsa yang Gampang Lupa
Untuk ke sekian kalinya, bom meledak tanpa bisa terdeteksi terlebih dahulu oleh aparat negara. Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar mengaku aparatnya lengah. Begitu juga bisa dinilai, petugas keamanan di Hotel JW Marriott lagi-lagi lalai dalam bertindak preventif terhadap ancaman keamanan setelah tahun 2003 lalu pernah terjadi kasus serupa.
Warga bangsa ini, termasuk para aparat keamanan selalu terserang penyakit massal bernama lupa. Bagi yang masih punya akal sehat tentu terganggu dengan peristiwa semacam ini. Pasalnya, sudah banyak kejadian semacamnya sebelum ini telah memporakporandakan harta benda serta melenyapkan begitu banyak nyawa anak bangsa sendiri. Tapi bangsa ini, terutama para elit dan aparatnya mengidap epidemi dari penyakit yang sama bernama: lupa.
Bisa ditengok perangai para elit. Misalnya, ketika Faturrahman Al Ghozy, seorang pimpinan JI yang menjadi komandan beberapa peristiwa teror bom di Filipina berhasil ditembak aparat di negara itu. Terlihat tangan-tangan elit nasional sibuk mengurus bagaimana memulangkan jenasah Al Ghozi dari Filipina. Tiba di tanah air, sejumlah elit nasional tampak antusias datang melayat dan jenazahnya diterima bagai seorang pahlawan yang gugur di medan pertempuran.
Fenomena serupa juga terjadi saat usai eksekusi hukuman mati terhadap ketiga pelaku bom Bali I: Imam Samudra, Muklas dan Amrozy. Jenasah mereka diterima bahkan diarak bagai pahlawan oleh masyarakat. Pers pun terlihat begitu naif dan konyol, larut dalam ketololan nalar publik, dengan luas memberitakan peristiwa itu.
Semua pihak, dari elit, kaum terpelajar hingga pers, sama-sama terserang epidemi “virus lupa.” Bahwa akibat terorisme itu telah menghilangkan nyawa ratusan bahkan ribuan warga bangsa dengan kerugian materi yang tidak terkira. Pada sisi lain, fenomena ini memperlihatkan terorisme yang berkedok ideologi agama ini oleh sebagian kalangan, mereka masih dilihat sebagai pejuang sejati dan pahlawan bagi mereka, walau dikutuk oleh warga dunia yang beradab.
Dengan fenomena terkini, semoga saja, masyarakat di Flores dan sekitarnya tidak terjangkit epidemi virus lupa. Keterlibatan JI dalam kasus kekerasan, teror dan bom ini mengingatkan publik akan Kasus Poso yang telah telah memicuh keterlibatan ketiga putra Flores, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu di tanah transmigran di Poso dan sekitarnya. Mereka telah menjadi “kambing hitam” yang harus dikorbankan di atas altar politik negeri ini demi dendam, selera primitif dan sikap akomodatif penguasa yang peragu dan kuatir akan kehilangan popularitas di mata konstituen.
Boleh diibaratkan, bagi bangsa ini, terorisme (bom bunuh diri) itu, bergerak seperti badai. Kita hanya bisa merasakan dampak yang diakibatkan tapi sejauh ini tidak bisa dilihat dan diamati dengan jelas sosok dan bentuknya.
Pertanyaannya, mengapa harus terjadi bom bunuh diri, siapa gerangan yang memiliki nyali semacam itu? Binatang apakah Jamaah Islamiyah itu, dari mana si kunyuk biadab itu berembrio dan mengapa para kadernya bisa punya mentalitas di luar akal sehat manusia?
Masih banyak pertanyaan bisa diajukan lagi, setidaknya untuk bisa memenuhi selera ingin tahu kita tentang peristiwa yang menghebohkan ini tapi tetap sangat sulit diberantas ini. Soalnya, jangan-jangan, pelaku bom bunuh diri dan jaringan terorisme itu kini sudah ada di sekitar kita. Tiap hari rajin berdoa, rutin ke tempat ibadah dan suka mengulurkan tangan membantu sesama. Yang tidak kita duga, petaka itu sudah ada dan sedang menghampiri kita sewaktu-waktu.
Sesungguhnya sejak peledakan bom malam Natal 2000, terjadi di 11 kota dalam waktu yang hampir bersamaan serta peledakan Mesjid Istiqlal, Jakarta, sebetulnya dugaan adanya aksi terorisme terorganisir sudah bisa diendus pihak aparat. Hanya para elit negeri ini dan aparat keamanan masih enggan bicara terbuka. Agaknya mereka kuatir akan emosi masyarakat mayoritas di balik ideologi keagamaan yang diusung gerakan itu. Baru pada kasus bom Bali 1 yang menewaskan 206 (sebagian besar turis asing), atas tekanan internasional, pemerintah terpaksa agak tegas menghukum para pelaku secara cukup adil.
Usai peledakan WTC di New York, AS, 11/9/2002, sejumlah tumpukan dokumen penting dibuka pihak intelijen. Elit politik negeri ini dan sejumlah tokoh penting yang awalnya selalu menyangkal adanya gerakan fundamentalis berkedok agama, kehabisan argumentasi untuk menyangkal setelah sejumlah tumpukan dokumen dibeberkan pihak intelijen.

Indonesia Sarang Teroris Berkedok Islam
Behauptung Ohne Beweis, dugaan tanpa bukti, bukan hanya sekedar sebuah azas dalam dunia intelijen. Dari sejumlah peristiwa teror dan peledakan bom, ditemukan sebuah jaringan mendunia yang terorganisir rapi, rahasia serta militan berada di balik kejadian yang mengerikan itu.
Dalam laporannya, dokumen penting intelijen itu menyebut adanya organisasi bernama Jamaah Islamiyah (JI) sebagai sebuah anasir dari gerakan teroris dunia dan Indonesia disebut sebagai sebuah negara yang subur menyemai gerakan itu. Beberapa tokoh penting dari jaringan teroris dunia itu (Al Qaedah) justeru dipimpin oleh orang Indonesia. Mereka direkrut dan dikaderkan beberapa tahun lamanya dan ikut terlibat di medan perang Afganistan. Usai perang, JI pun mengepakkan sayapnya ke hampir seluruh Asia Tenggara untuk satu tujuan: Terbentuknya Khilafa Islamiyah yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Philipina, Burnei dan Thailand Selatan.
Ke arah pencapaian tujuan tersebut, dana puluhan miliar dolar sudah digelontorkan dari Timur Tengah, untuk aktivitas mereka di Indonesia, setidaknya untuk 20 tahun terakhir ini. Sesudah reformasi anasir JI mulai bermetamorfosis di Indonesia lewat sekitar 15 organisasi dengan nama Forum, Laskar atau Front. Mereka ini sebelum dan sesaat setelah pemboman WTC sangat marak bergerak di tanah air, dari Jakarta hingga ke daerah-daerah.
Bahkan menurut sumber Sidney Jones dari Crisis Centre, para teroris itu berhasil menyusupkan ideologinnya dan bermetamorfosis lewat kegiatan keagamaan seperti Tarbiyah atau Majelis Ta’lim. Kini, Gur Dur dalam buku: Ilusi Negara Islam, mengungkapkan, anasir dari kekuatan ini sudah menyusup hingga ke Istana Megara, menduduki sejumlah jabatan penting di lingkaran kekuasaan negara, serta memenuhi kursi di parlemen baik pusat maupun daerah.
Nama Jamaah Islamiyah (JI) telah mengemuka sebagai jaringan teroris yang menakutkan sejak usai peledakan WTC di New York, AS, 11/9/2002 lalu. Walau para petinggi negara dan tokoh masyarakat membantah soal ini, tapi data yang dimiliki intelijen luar negeri seperti AS, Inggris dan Australia cukup lengkap tentang keberadaan organisasi yang didirikan oleh Abukabar Ba’ayir dan Abdulla Sungkar, ini sebagai basis teroris.
Sumber intelijen beberapa negara itu mengkonfirmasi Indonesia menjadi sarang JI sekaligus pusat base camp pengkaderan anggotanya setelah diusir dari Malaysia. Beberapa tempat antara Poso, Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan sentra pengkaderan anggota JI.
Data intelijen sejak lama telah mengendus keberadaan JI bahwa sejak dikejar dari Malaysia dan Singapura, mereka telah berhasil memindahkan sentra markas dan kamp pelatihannya ke Poso, sebuah daerah yang strategis secara militer. Dari tempat ini para kader baru JI melanjutkan pendidikan dan pelatihan mereka ke kamp milik JI Indonesia di Filipina ataupun sebagai tempat persinggahan setelah sekembalinya dari sana. Dari Poso juga para kader terlatih itu disebar ke seluruh wilayah lainnya di nusantara. Tidak sedikit kader binaan Poso diterjunkan untuk terlibat aktif dalam konflik Ambon lalu Poso yang diibaratkan sebagai medan latihan perang.
Man behind the scene, jika merunut segenap kisah dan rekam jejak para pelakunya, dapat dipastikan, aktor intelektual di balik terorisme bukan orang kebanyakan. Pelaku terorisme sebelumnya boleh jadi adalah orang-orang biasa, namun mereka sudah direkrut, dididik dan dilatih untuk memiliki keahlian khusus. Untuk peristiwa teroris dekade terakhir umumnya kemampuan itu dimiliki para alumni Afganistan, sebuah julukan bagi sekitar 300-an orang Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan dan pelatihan perang di Afganistan (Ikuti tulisan dalam media ini edisi berikut).
Seperti diungkap oleh Nasir Abbas dalam bukunya Membongkar Jamaah Islamiyah alumni Afganistan terdiri dari 13 angkatan. Di medan perang Afganistan, awalnya peserta dari Indonesia bergabung dalam camp Mujahidin Arab, hanya setelah itu, mendirikan camp sendiri yang menghimpun anggota dari Indonesia, Malaysia dan Filipina Selatan. Mereka tidak hanya piawai melakukan teror, peledakan bom dan perampokan uang dan emas sebagai sumber dana bagi aksi terorisme tapi juga nekat melakukan bom bunuh diri sambil tersenyum karena yakin dengan melakukan aksi mengerikan itu, surga sudah ada di pelupuk mata.
Dari 300-an orang Indonesia alumni Afganistan, walau tidak lagi terlibat dalam organisasi teroris, bisa diyakini, kebersamaan dalam jaringan ini masih tetap terpelihara, apakah sebagai pelindung atau sebagai aktor-aktor lokal dalam rekrutmen kader baru yang terus beranak pinak. Belum lagi, para teroris yang berhasil ditangkap dan dijebloskan ke panjara -- selain hanya tiga orang yang dieksekusi mati -- saat ini banyak sudah menghirup udara bebas.
Bisa diprediksi para kader binaan kekuatan teroris ini masih terus beranak pinak lewat berbagai nama dan bentuk tapi tetap dalam ideologi perjuangan yang sama. Semua itu memperlihatkan indikasi yang jelas, peledakan bom bunuh diri di Jumat, 17/7/2009 ini bukanlah akhir dari kisah kekerasan atas nama ideologi keagamaan (Islam) di tanah air, lewat jihad yang dipegang teguh, demi surga di pelupuk mata.
Kini walau banyak pentolan teroris sudah berhasil dibekuk aparat, tapi bisa dipastikan masih banyak lagi orang muda Indonesia lainnya yang diketahui berpredikat alumni perang Afganistan. Karena itu dapat diprediksi tertangkapnya sejumlah pelaku pengeboman serta anasirnya dan bom bunuh diri di dua hotel terkini, bukanlah akhir dari fenomena ancaman terorisme. Masih banyak lagi yang masih berkeliaran bebas di luar dengan bom-bom maut di tangan lewat serangan yang mematikan.***** (Stanislaus Soda Herin, Editor Buku Dr. AC Manullang: Terorisme dan Perang Intelijen- dokumen Mingguan ASAS)

Sabtu, 18 Juli 2009

Teror


Setelah beberapa tahun "aman dan damai", kita kembali kecolongan. Peledakan bom di Jakarta, di dua tempat itu - Hotel JW MArriot dan Ritz Carlton menewaskan sedikitnya 9 korban.
Peledakan di tempat, bulan dan pola yang hampir sama menunjukkan,
teror dan terorisme seperti berlangsung dalam sebuah siklus, mengikuti regularitas, sehingga mampu mereproduksi diri sendiri.

Menurut pandangan Yasraf Amir Piliang, Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung, "Siklus, regularitas, dan reproduksi teror memampukan teroris mengorganisasi ruang (tempat peledakan), waktu (kapan
diledakkan), sehingga ada waktu yang dianggap ”musim panen” terorisme (biasanya September-Oktober) di dalamnya
berbagai peristiwa teror besar berlangsung— the regularity of terror.

Kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasi ruang, waktu, taktik, strategi dan ”teknologi teror” itu sendiri
memperlihatkan bahwa ada seperangkat ”pengetahuan”, metode diseminasi, paradigma dan konstruksi sosial
pengetahuan tertentu yang dikembangkan di dalam terorisme sehingga ia mampu melakukan tindak sosial (peledakan,
penghancuran) secara reguler dan sistematis—the knowledge of terror.

Berbeda dengan bentuk-bentuk tindak sosial dan kekerasan lainnya yang hanya dilihat sebagai sebuah fenomena fisik
semata, tindak kekerasan di dalam teror dapat dilihat sebagai sebuah ’pernyataan’ (statement), yaitu tindak kekerasan
sebagai cara untuk mengomunikasikan pesan (politik) tertentu. Sehingga, teror harus dilihat pula sebagai sebuah bentuk
komunikasi atau wacana, yang pernyataannya menuntut sebuah jawaban, respons atau reaksi dari pihak lain—the
discourse of terror.

Meskipun para teroris sebagai ’pengirim pesan’ (sender) tidak pernah menampakkan dirinya—dan sering kali menjadi
sebuah misteri bahkan mitos—tindak dan ”pernyataan” para teroris (berupa peledakan bom dan bentuk teror lainnya)
adalah nyata dan konkret, yang memerlukan upaya intensif tidak saja membongkar para pelakunya, tetapi juga
menafsirkan pesan-pesan (messages) yang ingin disampaikannya.

Arkeologi teror

Disebabkan teror adalah sebuah wacana (discourse), yang di dalamnya tidak hanya beroperasi berbagai tindakan fisik,
melainkan juga berbagai ”pernyataan” atau ”pesan” tertentu yang menuntut respons tertentu, maka sesungguhnya ada
sebuah ’formasi wacana’ (discourse formation) tertentu yang membangun tindakan terorisme, dengan memanfaatkan
secara maksimal berbagai kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang ada.

Michel Foucault di dalam The Archeology of Knowledge (1989) menjelaskan berbagai bentuk wacana (termasuk wacana
terorisme) sebagai sebuah bentuk ’arkeologi’ (archeology), yaitu istilah khusus untuk menjelaskan bagaimana
pengetahuan yang dikembangkan, relasi sosial yang terbentuk, aktor-aktor dan institusi yang terlibat, serta formasi bahasa
(termasuk bahasa kekerasan) yang digunakan akan sangat menentukan pernyataan dan makna yang beroperasi di dalam
wacana (termasuk wacana terorisme).

”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya pengetahuan (savoir) yang dilibatkan di dalam setiap tindakan teror: teknologi
teror (pengetahuan bahan, teknologi merakit, prosedur meledakkan), sosiologi teror (kondisi sosial, relasi sosial dan
formasi sosial yang ada), psikologi teror (suasana hati dan kondisi psikologis yang mendukung), dan politik teror (relasi
kekuasaan dan struktur politik yang ada). Teror tidak saja sarat kekerasan, tetapi juga sarat pengetahuan.

”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya ”riset” yang dilakukan untuk mendukung sebuah tindakan teror: aspek geografis
tentang di mana akan melakukan aksi teror, aspek sosial tentang siapa korban yang akan menjadi sasaran, observasi
intensif pada lokasi sasaran, pengintaian (surveillance) pada gerak-gerik di dalam lokasi itu, aspek teknologis tentang
besarnya tenaga ledakan dan besarnya efek kehancuran yang dihasilkannya.

”Arkeologi teror” menunjukkan strategi, taktik dan teknik tinggi yang digunakan di dalam sebuah tindakan teror, melalui
kemampuan tinggi menafsirkan kondisi ruang-waktu yang ada untuk menentukan keputusan-keputusan yang diambil:
mengapa meledakkan di JW Marriot dan Ritz Carlton, bukan di tempat lain; mengapa meledakkan pada 17 Juli pagi, bukan waktu yang lain; mengapa melakukan bunuh diri, bukan bom jarak jauh.

”Arkeologi teror” menunjukkan ’politik waktu’ (chronopolitics) yang digunakan di dalam tindakan teror, yaitu politik global
pengorganisasian waktu dan intensitas penyerangan, yang membentuk sebuah siklus dan regularitas teror. Peledakan
bom Bali Oktober 2005 ini yang hampir bersamaan dengan peledakan Oktober 2002 menunjukkan pola regularitas ini,
yang menjelaskan tentang siklus ke depan aktivitas terorisme.

”Arkeologi teror” menunjukkan ’efek wacana’ (effect of discourse) terhadap masyarakat pada umumnya, melalui penafsiran
terhadap ”pernyataan teror”, pesan-pesan (sosial-politik) yang ingin dikomunikasikan, dan respons sosial yang dihasilkan
(ketakutan, trauma, paranoia). Peledakan bom Jakarta 2009 di sekisaran proses akhir Pemilu 2009 di Indonesia telah menimbulkan efek ganda teror, yang memungkinkan adanya relasinya dengan peristiwa itu, di samping relasi-relasi lainnya—the double effect of terror.

Yang Tersisa dari "Debat"


Dalam kolom Catatan Pinggir, Goenawan Mohammad menulis : Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan telaah. Memang, dulu ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyoal dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan saya cepat lelah dengan berujar lisan.

Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.

Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.

Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pendapat dan pendirian.

Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbeda—dan teknik Socrates akan menimbulkan kesadaran itu—mereka akan makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.

Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya lebih sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan redanya rasa gentar.

Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden. Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat mulai—dan orang menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan badminton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, debat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan segala ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita tegang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata, debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita bertepuk.

Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta mempertajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah dari acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelenggarakan pertandingan gladiator.

Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang disebut Milan Kundera sebagai ”imagologi”. Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak terelakkan.

Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para komentator debat—yang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini para komentator hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bahwa mereka dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya dasar yang bisa dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat lebih diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan eclenchus-nya sudah lama dikuburkan.

Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas menonton para calon presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan mungkin juga komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolah-olah serius itu punya manfaat lain, punya peran lain: proses itu membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu lebih menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang komoditas lain yang ditebarkan televisi.

Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.

Rakyat sudah menentukan pilihan. Pemilu telah selesai. Sudah ketahuan siapa yang menang. Dan siapa lagi yang bisa mendebat siapa ??? Kita menunggu 5 tahun lagi ...

JW Marriot dn Ritz Carlton


Berbagai pernyataan dari sejumlah kalangan mengenai pengeboman Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton sangat tendensius dan akan memperkeruh suasana.
Banyak pernyataan sangat provokatif dan tidak menolong untuk membuat suasana jadi lebih sejuk. Seharusnya dengan kondisi saat ini lebih difokuskan bagaimana mengatasi korban dan mencegah kejadian susulan.
Karena itu jangan menjadikan peristiwa tersebut sebagai sebuah komoditas yang dapat memicu kekisruhan bangsa. Jangan tuding menuding. Semua pihak tentu mengutuk aksi terorisme ini.
Semua pihak selayaknya tetap tenang dan waspada, tidak mudah terpancing dengan rumor dan spekulasi yang bisa merusak persatuan nasional. Mari mengambil hikmah – sekali lagi – dari peristiwa ini.***

Jumat, 10 Juli 2009

Terima Hasil Pilpres 2009

Pos Kupang menulis :
TANGGAL 8 Juli, jutaan warga Indonesia di dalam negeri dan di luar negeri yang memiliki hak pilih telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2009-2014.

Pemilihan umum di Indonesia sering disebut pesta demokrasi. Dalam terminologi ilmu politik sepertinya tidak dikenal istilah itu. Mungkin saja istilah ini hanya ada di Indonesia. Namun, dilihat dari konteksnya, bisa saja kita memaknainya sebagai ekspresi dari kegembiraan menyambut pemilihan umum. Pemilihan adalah mekanisme kehidupan politik yang demokratis.

Pesta demokrasi kali ini merupakan yang kedua memilih Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung. Artinya, rakyat benar-benar merayakan kebebasan dengan menggunakan hak sebagai rakyat untuk memilih siapa pemimpin negeri ini dan siapapun yang terpilih secara sah harus dihormati sebagai pilihan bangsa Indonesia. Itulah hakekat dari negara demokrasi.

Dalam pemilihan ini tentu ada pihak yang menang dan yang kalah. Karena itu, tentu ada pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil ini. Dan, pihak yang merasa menang biasanya larut dalam eforia kemenangan.

Pihak-pihak yang merasa kalah cenderung tidak puas dan biasanya mencari titik-titik kelemahan dengan harapan membatalkan kemenangan rivalnya atau kalau memungkinkan membalikan keadaan. Berbagai cara pun bisa dilakukan, baik dengan cara-cara yang elegan, misalnya, melalui jalur hukum dengan mengajukan pembuktiaan ketidakjujuran pihak yang menang atau dengan cara-acara anarkis.

Kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia tentunya tidak menginginkan pilpres tahun 2009 ini menjadi ricuh karena perbuatan oknum-oknum yang tidak puas dengan hasil yang ada. Artinya, semua komponen masyarakat Indonesia harus menerima siapapun yang terpilih yang akan diumumkan oleh KPU nanti.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfudz MD mengajak semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pilpres untuk melaksanakan tugas dengan jujur dan demokratis serta bersikap sportif menghadapi sengketa yang mungkin muncul usai penetapan hasil pilpres pada 8 Agustus 2009. Maksudnya, bila ada sengketa di kemudian hari, maka jalur hukumlah yang bisa dipakai, bukan jalur-jalur main hakim sendiri.

Apalagi masing-masing pihak dalam pesta ini juga sudah mengatakan bahwa siap menerima kekalahan dan juga siap menerima kemenangan. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono, meski sebagai capres dan calon wakil presiden menyatakan legowo menerima apapun hasil pilpres 2009. Dan, pasangan lainnya pun sudah menyatakan siap menerima kekalahan bila pilpres kali ini dilaksanakan secara jujur, adil dan demokratis.

Meskipun pilihan kita berbeda, namun kita harus sadar bahwa kita masih satu bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih terus bergerak maju untuk menjadi bangsa dan negara yang besar. Demikian pula kita di bumi Flobamora yang merupakan bagian dari NKRI harus maju sejalan dengan NKRI. Bila di antara kita punya pilihan politik yang berbeda maka itu adalah hak yang sudah hal yang diberikan oleh negara.

Kerja keras tim sukses pasangan Mega-Pro, SBY-Boediono dan JK-Win di NTT telah tergambar dalam hasil Pilpres kali ini. Dan, kalah atau menang harus diterima sebagai konsekuensi dari sebua peristiwa demokrasi, karena negara ini hanya memerlukan satu orang pemimpin.

Kita warga NTT juga telah memilih presiden, namun kita harus tahu bahwa pekerjaan membangun NTT tidak berhenti di sini. Masih ada jalan panjang yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Propinsi NTT bersama segenap warga Flobamora. Yang kalah jangan larut dalam kesedihan dan yang menang juga tidak boleh terbawa arus eforia kemenangan, karena NTT kini sedang memasuki musim panas.

Kita tahu bahwa saat musim panas, beberapa wilayah di NTT selalu menjadi langganan gagal panen, kekeringan dan kekurangan pangan hingga busung lapar. Marilah kita bersiap-siap mengatasi berbagai ancaman reguler ini. *pk

Apa sih Quick Count

Quick Count secara terjemahan berarti perhitungan cepat. Secara panjang Quick Count berarti proses pencatatan hasil perolehan suara di ribuan TPS yang dipilih secara acak. Quick Count adalah prediksi hasil pemilu berdasarkan fakta bukan berdasarkan opini. Karena itu ia tidak sama dengan jajak pendapat terhadap pemilih yang baru saja menyontreng atau yang biasa disebut exit poll.

Sampel diambil dari ribuan TPS yang dipilih acak di Indonesia kemudian di setor ke lembaga yang mengolah data tersebut. Data tersebut kemudian dapat digunakan untuk perbandingan dengan hasil dari KPU yang jika dihitung manual dapat memakan waktu sampai 2 minggu sedangkan Quick Count hanya memakan waktu beberapa jam saja jika pengiriman data dari tiap TPS lancar. Namun Quick Count juga bisa keliru jika antara peserta satu dengan yang lainnya datanya hanya berselisih sedikit. Biasanya lembaga yang melaksanakan Quick Count sudah menetapkan batas kekeliruan(Marginal Error), untuk menanggulanginya. Diantara beberapa lembaga Indonesia yang sudah sering melaksanakan Quick Count adalah LP3S dan Lembaga Survey Indonesia(LSI).

Quick Count sebenarnya sudah mulai ada di Indonesia pada 1997. Namun fenomena Quick Count di Indonesia mula-mula terjadi saat pemilu 2004. Saat itu Quick Count sedang membangun jati dirinya karena banyak yang belum terlalu percaya dengan hasil dari Quick Count. Setelah itu Quick Count mulai dikenal masyarakat dan sudah mulai diterima masyarakat. Tahun 2009 ini Quick Count digunakan lagi dalam pemilu legislatif dan pilpres 2009. Beberapa stasiun tv berlomba-lomba bekerjasama dengan lembaga yang melaksanakan penghitungan suara melalui Quick Count. Diantaranya Metro Tv dan Tv One.

Dan hasilnya : 26% untuk Mega-Prabowo, 61% untuk SBY-Boediono dan 12% untuk JK-Wiranto. Apa kali ini sekali lagi akan akurat ??? Kita tunggu 23-24 Juli ini saat KPU mengumumnkannya. (paul / koran seveners)

JK Mau Didongkel

Isu Munaslub yang beredar di tubuh Partai Golkar dikabarkan hanya bertujuan mendongkel Jusuf Kalla (JK) mundur dari kursi Ketua Umum partai. Jika kalah dalam pemilihan umum, JK diminta dengan besar hati mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Namun, sebelum isu itu berhembus, JK sudah ingin mengundurkan diri dari posisinya."Sebenarnya pada waktu Golkar kalah menjadi 14 persen itu ada niat dari Pak Jusuf Kalla untuk mengundurkan diri," ungkap Ketua DPP Partai Golkar Muladi kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (25/05). Namun niat itu urung dilaksanakan JK. Menurut Muladi, JK batal mundur dari ketua umum lantaran dirinya dituntut rasa tanggung jawab atas kekalahan partainya, dan demi menjaga soliditas partai.Menurut Muladi, mundurnya JK sebagai Ketua Umum partai tak perlu harus lewat mekanisme Munaslub. JK bisa meletakkan mandatnya sebagai ketua umum partai lewat forum Munas dipercepat. Saat ini Golkar masih berkonsentrasi pada pemilihan presiden. Golkar akan melihat sampai putaran berapa duet Jusuf Kalla-Wiranto yang diusung Golkar dan Hanura ini mampu bertahan. Isu menyeruak, Aburizal Bakrie berada di belakang gerakan mendongkel JK. Apa maksudnya ? Tentu saja agar di bawah kepemimpinan Ical, Golkar bias kembali merapat ke SBY alias merapat ke kekuasaan. Terlalu ….

Sabtu, 13 Juni 2009

Tak Berjudul

betapa susah mencari pemimpin berhati jernih, bermata nyalang melihat kondisi dan kebutuhan rakyatnya dan berfikiran cerdas menata peri kehidupan bangsa ini ...
sungguh galau melihat ada calon pemimpin beria-ria di atas banyak duka pedih yg sedang dialami banyak anak bangsa.
hercules jatuh, warna warni jalan terus, kampanye jalan terus ...
helikopter jatuh, warna warni jalan terus, kampanye jalan terus ...
datang di nusa tenggara timur, dengan masih banyak orang busung lapar, dengan penuh keringat darah orang ntt 'sendiri' membangun daerahnya ...
lantas datang dengan gagah-gagahan berteriak lewat spanduk warna-warni di jalan-jalan : Lanjutkan ! Pro Rakyat ! Lebih Cepat Lebih Baik ...
Apa sih yang sudah dibuat untuk NTT ??
Warga lokal di sekitar kamp pengungsian ... mereka berbuat jauh lebih banyak dan lebih terhormat : memberi kaplingan tanahnya dengan cuma-cuma untuk ditinggali, membagi sebidang lahan kebunnya untuk ditanami, dan rela keheningannya diusik, tapi anda ???
Apa yang sudah anda-anda buat ? Sehingga perlu gagah-gagahan menyulap GOR menjadi mewah ?? Menghiasi jalan-jalan dengan senyum sumringah anda-anda ?lantas apa artinya Anti KKN kalo masa kampanye saja sudah jelas-jelas menjadi ladang KKN ?? Apa artinya netralitas kalo mobil dan personil ikut hilir mudik mensukseskan kampanye ?????
Ahhh, semoga tidak demikian.

Kamis, 07 Mei 2009

Tiga Nenek Sihir : Catatan Pinggir Goenawan Mohammad

Tiga nenek sihir muncul di tepi jalan, ketika Jendral Macbeth dan Jendral Banquo melewati hutan yang gelap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur. Mereka dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang berhasil. Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka terpacak di depan ketiga makhluk aneh itu - tiga sosok yang mengelu-elukan Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang tinggi, seperti bagian dari sebuah ramalan yang dahsyat: bahwa Macbeth kelak bahkan akan disebut sebagai sebagai raja.

Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan tiba-tiba tampak berubah. Raja? Tahta? Benarkah puncak itu akan tercapai, jika mengingat, bahwa Duncan, raja yang diabdinya dan dibelanya dalam perang yang baru saja usai, masih kukuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai posisi itu, berada di kedudukan milik baginda?

Bagi saya, penting buat dicatat bahwa Macbeth, lakon Shakespare yang termashur ini dimulai dengan adegan tiga nenek sihir itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa diabaikan.

Justru mereka itulah yang pada akhirnya mengharu-biru tertib yang ada - dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia waktu itu tertib yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi raja. Adat yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth untuk mengambil-alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat dan lambangnya guncang.

Tapi bukan salah para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya jadi keadaan yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Macbeth, begitu ia merasa nasib akan menjadikannya seorang raja, ia pun segera menyisihkan sang takdir. Ia tak sekedar pasif menunggu sampai keberuntungan itu datang.

Ia bertindak menyingkirkan Duncan. Bukan karena petunjuk ketiga perempuan misterius di hutan itu bila ia membunuh sang Raja. Itu sepenuhnya inisiatifnya. Itu dorongan kehendaknya yang kian kuat. Ia bahkan tak perlu lagi dihasut isterinya untuk merebut kekuasaan. Ketika nujum mengatakan bahwa kelak yang akan menggantikannya sebagai penguasa adalah anak-cucu Jendral Banquo, Macbeth pun diam-diam (bahkan tanpa memberi tahu isterinya) menyuruh agar sahabatnya dalam perang itu dibunuh. Banquo mati. Dengan itu Macbeth berharap nujum, atau “takdir”, bisa dikalahkannya.

Tapi dengan itu semua terungkap bahwa manusia dan perbuatannya-lah yang akhirnya menentukan. Takdir tak ada artinya. Tertib yang semula ditaati oleh seluruh Skotlandia terbukti bukan tertib yang datang secara alamiah, bukan tatanan yang ditentukan oleh langit. Kedudukan raja bukanlah sesuatu yang secara a priori ditetapkan. Ia seperti kursi kosong yang bisa diisi siapa saja yang bisa merebutnya. Tertib dan adat itu pada akhirnya dibentuk oleh ambisi, akal, dan antagonisme manusia.

Apalagi yang diucapkan nenek sihir itu bukan nubuat: mereka tak pernah dihormati sebagai para nabi. Wibawa mereka praktis tak ada. Ucapan mereka tak berdiri di atas (dan terlepas dari) tafsir subyektif Macbeth sendiri. Dalam adegan ke-3 Babak I sang jenderal secara tak langsung menunjukkan hal itu. Ia menyebut ketiga makhluk itu “imperfect speakers” yang cuma sebentar bicara dan kemudian menghilang ke udara malam yang basah.

Itu sebabnya Macbeth bukan hanya sebuah cerita tentang ambisi. Drama ini juga bercerita tentang kekuasaan yang tak tahu di mana mesti berhenti - dalam arti berhenti menaklukkan yang lain. Kekuasaan itu jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan kekerasan.

Sebelum akhirnya kekerasan itu membinasakan manusia, pada mulanya ia berupa kekerasan terhadap misteri. Macbeth mencampakkan nujum tiga nenek sihir yang sebenarnya diutarakan dalam bentuk puisi yang remang-remang dan belum selesai; ia menggantikannya dengan tafsir dan rencana yang tegar; ia mengertikan kata-kata para nenek sihir dengan harfiah. Ketika ketiga perempuan setengah gaib itu meramal bahwa Macbeth hanya bisa dikalahkan oleh seseorang yang “tak dilahirkan oleh perempuan,” jenderal itu yakin tak akan ada manusia akan bisa merubuhkannya. Padahal ternyata ada kemungkinan arti lain dari kalimat itu: Macduff, orang yang akhirnya berhasil membunuh Macbeth, dulu tak dilahirkan dengan cara normal. Ia bayi yang direnggutkan keluar setelah perut ibunya dibedah.

Betapa malangnya Macbeth: ia ambisi yang lempang seperti tombak yang keras dan menakutkan. Ia tak tahu bahwa selalu ada lapis yang tak akan tertembus olehnya. Ketiga nenek sihir itu misalnya, yang tak pernah bisa diperintahkannya dan tak pernah bisa penuh dimaknainya. Juga hutan yang gelap itu. Juga guruh dan cuaca buruk itu.

Juga rasa bersalah yang tak bisa dilenyapkan. Isterinya merasa tangannya selalu berlumur darah; tak ada minyak yang bisa membersihkannya. Macbeth sendiri melihat hantu Banquo yang dibunuhnya datang malam-malam. Kian mengusik rasa bersalah itu, kian paranoid pula ia jadinya, dan makin buas.

Lakon Macbeth akhirnya menunjukkan: betapa destruktifnya ambisi kekuasaan politik ketika ia berkali-kali ingin menembus apa yang tak tertembus, menaklukkan apa yang tak akan tertaklukkan, menghapuskan apa yang tak bisa terhapuskan, ketika ia menyangka dunia bisa dikuasai seperti dalam markas militer.

Maka biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa menculik, menyiksa, menggertak - atau, sebaliknya membeli manusia dengan uang - tapi di balik kehidupan selalu tersembunyi nenek-nenek sihir. Kalau Tuan tak tahu kapan harus berhenti, Tuan akan bertaut dengan mala - yang buruk, yang busuk, yang keji, yang akhirnya akan mengenai Tuan sendiri.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 27 April 2009~

Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri

Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.

Dalam sebuah esainya Sutardji menulis "puisi adalah alibi kata-kata". Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.

Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.

Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.

Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.

Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Bagi saya, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad.

Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tetapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujudkan apa yang telah dia deklarasikan.

Mantra

Sutardji mengatakan bahwa bagi dia menulis puisi "adalah mengembalikan kata pada mantra". Mengembalikan kata kepada mantra adalah mengeluarkan kata dari konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri.

Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai "Pantun" yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember 1997).

Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.

Di sini Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun dari Barat, yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu kita ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.

Cara yang ditempuhnya ialah mengambil satu dua pantun dan mengubah sampiran pantun itu dengan bunyi-bunyi yang tidak ada maknanya secara leksikal, tetapi tetap mempertahankan persyaratan formal pantun berupa jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris kalimat, dan persamaan bunyi pada akhir kalimat. Ternyata bahwa setelah sampiran diubah ke dalam bunyi-bunyi yang tanpa makna, pantun itu tetap utuh dan masih dapat dinikmati juga.

Pulau pandan jauh di tengah

di balik pulau angsa dua

hancur badan dikandung tanah

budi baik dikenang juga


Oleh Sutardji dua kalimat sampiran dalam pantun ini diubah dengan bunyi-bunyi yang tak ada maknanya dalam kode leksikal sebagai berikut:

Cacau landan taktak zizangah

tuta kadu pagara mua

hancur badan dikandung tanah

budi baik dikenang jua

Atau sebuah pantun lainnya:

Kalau ada sumur di ladang

bolehlah saya menumpang mandi

kalau ada umurku panjang

bolehlah kita bertemu lagi

Oleh Sutardji dua kalimat sampiran itu diubah dengan bunyi-bunyi tanpa makna sebagai berikut:

Zuku zangga tukali tangtang

zegeze geze papali podi

kalau ada umurku panjang

bolehlah kita bertemu lagi

Dengan cara ini Sutardji membuktikan bahwa sampiran sama sekali tidak dan tidak perlu berhubungan dengan isi pantun dalam kandungan pesannya. Kita tahu, keterangan umum tentang sampiran biasanya dihubungkan dengan alasan fonetik dan alasan estetik. Sampiran diharuskan terdiri atas jumlah suku kata tertentu dalam tiap baris, dengan suku kata terakhir yang harus mengandung persamaan bunyi dengan suku kata terakhir dari bagian isi yang menjadi pasangannya.

Rima pada pantun mengikuti formula ab/ab, yang berarti akhir baris pertama harus mempunyai kesamaan bunyi dengan akhir baris ketiga, sedangkan akhir baris kedua mempunyai rima dengan akhir baris keempat. Di sini hubungan sampiran dan isi hanyalah hubungan formal menyangkut struktur pantun, tetapi tidak ada hubungan substansial antara keduanya.

Menerobos batas bahasa

Meski demikian, Sutardji maju selangkah lagi dan menyatakan bahwa sampiran, justru karena tak mengandung makna tertentu, memperlihatkan the other side of language atau sisi lain dari bahasa, karena makna dalam isi pantun diperhadapkan dengan sampiran yang tanpa makna tertentu. Dengan demikian, pantun menjelma menjadi dialektik antara sense dan nonsense, atau kontestasi antara makna dan tanpa-makna.

Rupa-rupanya keadaan tanpa makna itu tetap dibutuhkan dalam bahasa umumnya dan dalam puisi khususnya, karena dia menjadi kontras yang membuat makna semakin tampak seperti halnya cahaya lampu hanya menjadi nyata dalam gelap dan tidak tampak di bawah sinar matahari.

Dengan demikian, kalau mantra adalah sisi lain dari makna dalam kata, maka sampiran pada pantun adalah sisi lain dari makna dalam kalimat. Pada mantra fonem-fonem yang digabungkan tidak menghasilkan makna, dan atas cara itu membawa orang keluar dari dunia kata-kata yang bermuatan makna yang telah dibakukan.

Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.

Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.

Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.

Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.

Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.

Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini.

hai Kau dengar manteraku

kau dengar kucing memanggilMu

izukalizu

mapakazaba itazatali

tutulita

papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu

tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco

zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege

zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang

ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu

ku zangga zegezegeze aahh....!

nama nama kalian bebas

carilah tuhan semaumu

Dalam sajak ini dua kalimat pertama "Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu" adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.

Kode leksikal

Nama dan kode-kode yang digunakan penyairnya adalah bunyi-bunyi seperti mapakazaba, itazatali, tutulita, dan seterusnya. Betapa pun gelapnya kode tersebut, dalam berbagai pengulangan dapat kita rasakan intensitas suatu hasrat yang tak terucapkan dengan bahasa, yaitu bunyi-bunyi seperti zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze, tetapi rupanya seruan-seruan magis itu tak sanggup juga mendekatkan wujud yang tak terbatas atau yang kudus itu kepada penyair, yang akhirnya berkata dengan pasrah, dan mungkin dengan putus harapan: "nama nama kalian bebas/carilah tuhan semaumu".

Perjuangan dengan yang tak terbatas, yang ilahi, atau yang kudus dapat kita amati dengan lebih jelas dalam sajaknya yang berjudul Shang Hai. Teknik yang diterapkan penyair di sini adalah menerjemahkan kata-kata dalam kode leksikal ke dalam tanda-tanda non-leksikal.

Semantik diterjemahkan menjadi semiotik sebagaimana dikatakan oleh Emile Benveniste. Meski demikian, penggunaan kode-kode non-leksikal itu disusun dalam suatu struktur yang dengan mudah membuat kita menerjemahkannya kembali ke dalam kata-kata biasa dalam kode leksikal. Hubungan di antara signifier (tanda non-leksikal) dan the signified (kode leksikal) tidak dibuat eksplisit, tetapi memberi kemungkinan bagi pembaca untuk menemukannya.

Ping di atas pong

pong di atas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

tak ya pong tak ya ping

ya tak ping ya tak pong

kutakpunya ping

kutakpunya pong

pinggir ping kumau pong

tak tak bilang ping

pinggir pong kumau ping

tak tak bilang pong

sembilu jarakMu merancap nyaring

Ada tiga cara membaca sajak ini. Cara pertama adalah cara semiotik yang melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu sebagai tanda dan hubungan antartanda. Cara yang kedua adalah cara semantik yaitu melihat hubungan kode leksikal dengan makna.

Cara yang ketiga adalah cara hermeneutik yaitu melihat hubungan antara kode bahasa dengan makna, dan hubungan makna dengan konteks kebudayaan yang luas. Cara ketiga inilah yang akan saya gunakan dalam membaca sajak Shang Hai.

Dibaca dengan cara hermeneutis maka sajak itu dapat menunjukkan suatu perjuangan eksistensial untuk memihak makna atau tanpa makna, persaingan antara percaya dan rasa sia-sia, tukar-menukar antara benci dan rindu, atau pingpong antara ada dan tiada.

Ping di atas pong

pong di atas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

Ada sesuatu yang intens dan tegang dalam larik-larik tersebut yang kita tak tahu sepenuhnya apa. Akan tetapi, untuk keperluan penafsiran, kita secara eksperimental dapat mengganti fonem ping dan pong dengan kata-kata yang ada dalam kode leksikal bahasa Indonesia. Sebagai contoh gantilah fonem ping dengan kata-kata seperti: ada, percaya, rindu, dan dekat, dan gantilah fonem pong dengan kata-kata seperti: tiada, sia-sia, benci atau jauh maka akan terasa ketegangan itu.

Dengan peralihan ke dalam kode leksikal, maka larik-larik di atas akan berbunyi:

Ada di atas tiada

tiada di atas ada

ada ada bilang tiada

tiada tiada bilang ada

mau tiada? bilang ada

mau mau bilang tiada

mau ada? bilang tiada

mau mau bilang ada

ya tiada ya ada

ya ada ya tiada

Atau kalau kita menggantinya dengan kode leksikal lainnya, maka kita dapati larik-larik berikut:

Rindu di atas benci

benci di atas rindu

rindu rindu bilang benci

benci benci bilang rindu

mau benci? bilang rindu

mau mau bilang benci

mau rindu? bilang benci

mau mau bilang rindu

ya benci ya rindu

ya rindu ya benci

Sajak ini termasuk sajak Sutardji yang paling mempesona saya karena hanya dengan dua fonem yang tak ada maknanya secara leksikal kita diberi ruang yang lapang untuk membangun makna tentang dialektik yang keras di antara dua jenis energi yang diberi nama "ping" dan "pong".

Makna baru

Dialektik ini rupanya tak menghasilkan suatu sintesa yang memuaskan, sehingga akhirnya meledak dalam kalimat terakhir sajak yang berbunyi sembilu jarakMu merancap nyaring. Anda tahu "merancap" adalah bunyi senjata tajam yang sedang diasah. Maka, jarak dengan yang tak terbatas telah menjadi sembilu yang terus diasah dengan denting bunyi yang nyaring.

Namun, di sinilah Sutardji berhadapan dengan kontradiksinya sendiri: usaha untuk keluar dari makna akan membawa kita kepada makna baru, seperti yang terjadi pada setiap metafor. Penghancuran makna mengharuskan kita untuk melakukan penciptaan makna, sementara dekonstruksi makna akan membawa kita kepada rekonstruksi makna.

Bunyi-bunyi yang tak ada dalam kamus pada akhirnya harus diterjemahkan kembali dengan kata-kata dalam kode leksikal, sebagaimana mantra diterjemahkan menjadi doa, dan mistik diterjemahkan menjadi lirik. Sebagai contoh sajak Sutardji Shang Hai yang baru kita uraikan dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Sonet: X. Sajak ini dimulai dengan pertanyaan:

Siapa menggores di langit biru

siapa meretas di awan lalu

siapa mengkristal di kabut itu

siapa mengertap di bunga layu

Dan ditutup dengan pertanyaan:

siapa tiba-tiba menyibak cadarku

siapa meledak dalam diriku

: siapa Aku

Setelah bertanya dan mengaduh dengan berbagai pertanyaan yang serba gelisah, muncul juga jawaban berupa suara dalam diri orang yang bertanya: siapa Aku, siapa Aku yang menggema dalam dirimu? Demikian pun, kesimpulan Sutardji yang terungkap dalam kalimat sembilu jarakMu merancap nyaring dengan mudah mengingatkan kita akan rindu dendam dan mungkin juga frustrasi Amir Hamzah dalam sajaknya PadaMu jua", yang baik saya kutipkan beberapa baitnya sebagai perbandingan:

Satu kekasihku

aku manusia

rindu rasa

rindu rupa

Di mana Engkau

rupa tiada

suara sayup

hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

engkau ganas

mangsa aku dalam cakarmu

bertukar tangkap dengan lepas

Permainan antara rindu rupa dan rupa tiada, dan pergantian tangkap dengan lepas pada Amir Hamzah kurang lebih paralel dengan sembilu jarakMu merancap nyaring pada Sutardji, yang menyatakan kegelisahan dan rasa penasaran ini dengan lebih jelas dalam sebuah sajaknya yang lain:

Kuharap isiNya kudapat remahNya

kulahap hariNya kurasa resahNya

kusangat inginNya kujumpa ogahNya

kumau Dianya kutemu jejakNya.

Daya pukau

Kalau yang tak terbatas itu dihayati juga sebagai yang kudus, maka pengalaman dengan yang kudus itu, menurut penyelidikan fenomenolog agama, Rudolf Otto, dihayati sebagai perjumpaan dengan mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.

Orang tertangkap dalam daya pukau, tetapi terlepas kembali dalam rasa gentar, bertukar tangkap dengan lepas seperti dikatakan Amir Hamzah. Pada beberapa penyair Indonesia daya pukau itu terasa lebih menonjol dan penyair melantunkan sukacita akan kepenuhan pengalaman itu. Chairil Anwar dalam pembukaan sajak Doa berkata:

Tuhanku

dalam termangu

aku masih menyebut namaMu>kern 200m<>h 8333m,0<>w 8333m<

yang dapat kita bandingkan dengan beberapa kalimat dalam sajak Rabindranath Tagore:

I will utter your name, sitting alone among

the shadows of my silent thoughts

I will utter it without words, I will utter it without purpose

Chairil menutup sajaknya dengan stanza berikut:

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

Larik-larik itu terdengar bagaikan parafrase pengalaman penyair Inggris, William Blake, ketika berkata dalam sajaknya:

Hold infinity in the palm of your hand

and eternity in an hour

Sutardji jelas mengalami keterpukauan itu, tetapi berkali-kali merasa bahwa yang dekat tetaplah jauh, yang nampak tetap tersembunyi, daya pukau tetaplah menyebar rasa gentar. Ambivalensi tanggapan dan suasana hati ini dapat ditemukan secara intens dalam berbagai sajaknya tetapi muncul dalam nada rendah yang amat simpatik dalam sajak yang berikut ini:

Siapa dapat meneduh rusuh

dalam hatiku dalam hatimu

siapa dapat membalut luluh

yang padamu yang padaku

siapa dapat turunkan sauh

dalam hatiku dalam hatimu

siapa dapat membasuh lusuh

apa kautahu apa kautahu?

Pelanggaran kategori

Kalau semantik diterobos melalui mantra, maka sintaksis diterobos melalui categorial transgression atau pelanggaran batas kategori sebagaimana dimaksudkan oleh Paul Ricoeur. Pelanggaran batas kategori ini dilakukan oleh Sutardji dengan beberapa cara, direncanakan ataupun tidak. Di beberapa tempat jelas-jelas dia memakai kata benda dalam fungsi sebagai kata sifat.

Yang paling mawar

yang paling duri

yang paling sayap

yang paling bumi

yang paling pisau

Ada dua hal terlihat dalam contoh ini. Di satu pihak kata benda digunakan sebagai kata sifat, sementara di lain pihak kata benda dapat diberi bentuk superlatif. Kita dapat bertanya mengapa gerangan penyairnya mengatakan "yang paling mawar" dan bukan "yang paling harum", "yang paling duri" dan bukannya "yang paling tajam", atau "yang paling sayap" dan bukannya "yang paling bebas"?

Salah satu jawaban yang mungkin ialah ajektif harum, tajam, dan bebas dalam perasaan penyair sudah mengalami devaluasi arti yang terlalu parah akibat tekanan konvensi sosial atau hipokrisi moral, sehingga dia mengambil substantif sebagai gantinya. Sementara itu, dia ingin memastikan bahwa kalau ada bau harum yang terbit dalam perasaannya, maka itu adalah harum mawar dan bukan harum parfum misalnya. Di sini pelanggaran kategori diterapkan untuk mengejar presisi dan kepenuhan makna yang dituju.

Penyimpangan lainnya dilakukan dengan menyamakan dalam fungsi atributif yang sejajar kata-kata dari berbagai jenis kata yang berbeda. Larik-larik berikut ini dapat memberi ilustrasi:

Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit

siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa

burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal

siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau

tak aku yang paling rindu?

Atau larik-larik lainnya:

Yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung

yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang

mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu

Dalam bait yang dikutip pertama kita bertemu dengan jenis-jenis kata sebagai berikut: derai adalah kata benda, rumit kata sifat, larut kata sifat, pijak kata kerja, sayap kata benda, tunggal kata sifat, tidak kata keterangan, aku kata ganti dan rindu kata kerja. Semua kata-kata ini diberi bentuk superlatif dengan bantuan kata keterangan "paling", sementara menurut tata bahasa, superlatif hanya dikenakan pada kata sifat.

Dalam bait lainnya kita melihat pasangan kata-kata dalam kedudukan sebagai predikatif, tetapi tidak selalu simetris berdasarkan jenis katanya. Sungai dan derai memang simetris karena keduanya kata benda, juga gantung dan sambung adalah simetris karena keduanya kata kerja.

Akan tetapi, gairah dan resah tidak simetris karena gairah adalah kata benda sementara resah kata sifat. Juga tahu dan waktu tidak simetris karena tahu adalah kata kerja sedangkan waktu kata benda. Atas cara yang sama tanah dan tunggu juga tidak simetris, karena tanah adalah kata benda dan tunggu kata kerja.

Dekonstruksi bahasa

Suatu percobaan Sutardji lainnya yang patut dicatat ialah usahanya mendistorsikan kata-kata dalam kode leksikal dengan makna yang jelas ke bentuk-bentuk kata yang keluar dari kode leksikal sehingga tidak mempunyai makna lagi. Frase seperti "sepisau luka sepisau duri" dapat kita pahami melalui kode leksikal. Akan tetapi, oleh Sutardji perkataan "sepisau" dipelesetkan menjadi "sepisaupa sepisaupi" yang sudah sulit dipahami dengan menggunakan kamus.

Sepisau luka sepisau duri

sepikul dosa sepukau sepi

sepisau duka serisau diri

sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi

sepisapanya sepikau sepi

sepisaupa sepisaupi

sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sampai pisauNya kedalam nyanyi

Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari. Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi dan asonansi secara maksimal.

Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa.

Untuk mengambil sebuah contoh saja:

Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala

nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri

dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau

kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala

guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala

Anu puteri pesonaku!

datang Kau padaku!

Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan ringan saja dia menulis "kakekkakek", "bocahbocah", atau "terkekehkekeh". Atau "minumminum", "senyumsenyum", "jingkrakjingkrak" dan "nyanyinyanyi".

Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik, kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif.

Begitulah, catatan-catatan ini mudah-mudahan memperlihatkan sekadarnya bahwa jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di Indonesia semenjak 1990-an, Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi.

Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.

Atau, untuk memakai kata-kata Sutardji sendiri, puisi adalah ibarat "senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi" tetapi dekonstruksi melalui puisi adalah ibarat "cuka dalam nadi luka dalam diri".

IGNAS KLEDEN Sosiolog, Penulis Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Grafiti, Jakarta, 2004

* (Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun. Dalam penerbitan ini seluruh catatan kaki dihilangkan).

Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia

Oleh Ignas Kleden


Pada 31 Oktober 2006 Clifford Geertz meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Menurut pengakuannya sendiri, dari usia yang panjang itu 10 tahun lebih dihabiskannya dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali, Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain.

Geertz belajar antropologi di Universitas Harvard, pada Department of Social Relations, yang didirikan oleh Clyde Kluckhon, bersama beberapa tokoh lainnya, menulis disertasinya di bawah bimbingan Cora DuBois, berdasarkan penelitiannya di Jawa pada tahun 1952, dan menyelesaikan S-3 pada 1956 dengan disertasi yang terbit belakangan sebagai buku berjudul The Religion of Java.

Menerobos Nederlandosentrisme

Geertz menjadi terkenal dan populer di Indonesia karena penelitian yang dilakukan di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa buku penting tentang Indonesia. Pokok kajiannya meliputi agama Jawa, politik aliran (abangan, santri, priyayi), watak perkotaan di Jawa sebagai hollow town dan bukannya solid town, pengelompokan politik tanpa basis kelas, perbandingan Islam Indonesia dan Islam Maroko (antara the scope of religion dan the force of religion), perbandingan antara etos dan praktik perdagangan di Jawa dan di Bali (antara individualisme pasar dan rasionalitas ekonomi tanpa kemampuan organisasi ekonomi di satu pihak, berhadapan dengan kemampuan organisasi ekonomi tanpa individualisme pasar dan tanpa rasionalitas ekonomi di pihak lain), politik klasik di Bali yang dirumuskannya sebagai theater state, apa yang ditinggalkan oleh Hinduisme dalam praktik keagamaan di Jawa dan Bali, serta praktik pertanian Jawa yang semenjak tanam paksa tidak berhasil mengalami evolusi menjadi pertanian kapitalis, tetapi mengalami involusi yang menjadikan pertanian hanya sebagai tempat penampungan penduduk yang terus bertambah banyak dan karena itu tidak memungkinkan investasi baru.

Perlu segera ditambahkan bahwa bukan saja hasil penelitian itu saja yang membuatnya penting di Indonesia, tetapi juga kenyataan bahwa dia termasuk kelompok pertama sarjana ilmu sosial Amerika yang, sengaja atau tidak, telah membuat studi Indonesia tidak hanya terpusat di Leiden dengan menjadikan Indonesia pokok kajian yang penting dalam dunia akademis di Amerika Serikat. Nederlandosentrisme dalam studi Indonesia mulai diterobos dan muncul diversifikasi yang kemudian menyebar ke Australia, Jerman, Rusia, Jepang dan tempat-tempat lain. Dunia mendapat beberapa perspektif yang berbeda tentang bagaimana Indonesia dilihat dari luar dan dari dalam.

Pemberontakan ilmiah

Dalam tradisi antropologi sendiri, latar belakang pendidikannya di Universitas Harvard rupanya banyak mewarnai pemikirannya di kemudian hari. Jalan yang ditempuh Geertz dalam penelitiannya, buat sebagian, merupakan pemberontakan ilmiah terhadap apa yang menjadi mainstream dalam studi antropologi di tempatnya belajar pada waktu itu. Tradisi antropologi itu dibangun oleh nama-nama besar seperti Kroeber, Kluckhohn, Ruth Benedict, Robert Redfield, Franz Boas, Ralph Linton, Bronislaw Malinowski, Edward Sapir, dan Margaret Mead.

Geertz merasa bahwa tradisi itu di bangun di atas suatu keinginan untuk menjadikan antropologi sebagai bagian yang sah dari seluruh bangunan sciences, dan karena itu diusahakan agar antropologi menjadi disiplin dengan kemampuan generalisasi yang luas yang bisa menjelaskan apa saja yang dilakukan manusia dalam masyarakatnya. Ide tentang kebudayaan lalu diperlakukan sebagai semacam hukum gravitasi untuk bidang humaniora dengan daya-penjelas yang bersifat all-embracing atau semacam all-seasons explanation tentang apa saja yang hendak diusahakan manusia untuk dilakukan, dibayangkan, dikatakan atau dipercayainya.

Geertz yang muncul sebagai seorang Dilthey Amerika rupanya tidak puas dengan tendensi tersebut dan merasa harus mengambil jalan sebaliknya, atau jalan menyimpang. Tidak bisa dikatakan begitu saja bahwa orang Jerman pada dasarnya otoriter, orang Rusia suka kekerasan, orang Amerika praktis dan optimistis, dan orang Jepang dikendalikan oleh rasa malu (dan bukannya rasa salah). Antropologi tidak bekerja dengan agregat-agregat besar. Kebudayaan harus ditulis dengan huruf yang lebih kecil dan dilihat sebagai suatu perkara yang kurang ekspansionis. Untuk mengutip kata-kata Geertz yang khas: ....nampaknya masih tetap mendesak menjadikan kebudayaan suatu pengertian yang lebih terbatas, dengan penerapan yang lebih terbatas, makna yang terbatas, dan suatu pemakaian yang lebih dispesifikasikan sekurang-kurangnya suatu pokok yang agak lebih terfokus dari suatu ilmu yang agak lebih terfokus.

Ketika datang ke Jawa pada tahun 1952, Geertz mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelum itu yang memberi perhatian utama kepada kelompok suku, atau permukiman di sebuah pulau terpencil, komunitas kecil petani atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang. Modjokuto dipilih untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tersebut, karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf, dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik.

Di sana tampak jelas kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi yang sangat jauh dari pengertian kebudayaan sebagai kesatuan pola tingkah laku yang terdapat pada suatu kelompok orang, suatu definisi yang oleh Geertz dianggap lapidar tetapi tidak realistis.

Merelatifkan

Inilah sebabnya mengapa sulit sekali memasukkan Geertz dan pendekatannya ke dalam suatu kubu tertentu (suatu kecenderungan yang sering ditertawakannya sebagai pigeonhole disease). Tulisannya tidaklah mengokohkan suatu pendekatan, tetapi lebih merelatifkan banyak keyakinan ilmiah sebelumnya. Bukunya Interpretation of Cultures memberi sisi lain dan kontras terhadap buku kedua gurunya, Kroeber dan Kluckhohn, berjudul Culture yang menghimpun 171 definisi kebudayaan.

Kebudayaan selalu mengandung sesuatu yang menghindar dari apa yang dipastikan dalam definisi, dan karena itu hanya dapat ditafsirkan dan ditafsikan kembali. Bukunya Local Knowledge mulai mempersoalkan kedudukan ilmiah ilmu antropologi dalam suatu suasana akademis yang mengalami pemburaman ragam (blurred genres) tatkala sangat sulit menyebut Foucault seorang filosof, seorang sejarawan atau seorang sosiolog.

Bukunya Works and Lives: The Anthropologist as Author mengajukan tesis yang diterima dengan sukacita dalam kalangan literary criticism tetapi menimbulkan kejengkelan di kalangan antropolog profesional, yaitu bahwa teks etnografi tak berbeda dari sebuah teks literer dan dapat dikritik atas cara itu. Bukunya After The Fact adalah semacam meta refleksi bahwa bukan saja kebudayaan sebuah suku di Papua yang layak menjadi bahan etnografi, tetapi praktik para antropolog sendiri patut menjadi bahan penulisan etnografi. Dibutuhkan suatu etnografi tentang etnografi. Sedangkan bukunya Available Light berisikan refleksi seorang antropolog tentang berbagai isu filsafat dan apa yang dapat dipelajarinya dari sana. Sistem-sistem filsafat telah melicinkan banyak kawasan, tetapi jalan yang licin membuat orang mudah tergelincir. Seorang antropolog harus berjalan, dan karena sebaiknya memilih back to the rough ground, karena gesekan dengan kerikil dan pasir jalanan adalah jaminan bahwa seorang tetap berjalan tegap.

Dalam sebuah esainya yang banyak dipolemikkan, dia menulis pekerjaan sebaik-baiknya bagi seorang sarjana adalah menghancurkan ketakutan. Geertz pastilah bukan arsitek yang membangun gedung-gedung pengetahuan yang megah. Dia lebih mirip ikonoklast yang menghancurkan demikian banyak patung berhala dalam ilmu pengetahuan, dalam studi kebudayaan, dan, barangkali, dalam dirinya sendiri dan dalam diri pembacanya.

Ignas Kleden Sosiolog, Pengajar Teori Sosial dan Teori Sosiologi pada Program Pascasarjana FISIP UI