Pos Kupang menulis :
TANGGAL 8 Juli, jutaan warga Indonesia di dalam negeri dan di luar negeri yang memiliki hak pilih telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2009-2014.
Pemilihan umum di Indonesia sering disebut pesta demokrasi. Dalam terminologi ilmu politik sepertinya tidak dikenal istilah itu. Mungkin saja istilah ini hanya ada di Indonesia. Namun, dilihat dari konteksnya, bisa saja kita memaknainya sebagai ekspresi dari kegembiraan menyambut pemilihan umum. Pemilihan adalah mekanisme kehidupan politik yang demokratis.
Pesta demokrasi kali ini merupakan yang kedua memilih Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung. Artinya, rakyat benar-benar merayakan kebebasan dengan menggunakan hak sebagai rakyat untuk memilih siapa pemimpin negeri ini dan siapapun yang terpilih secara sah harus dihormati sebagai pilihan bangsa Indonesia. Itulah hakekat dari negara demokrasi.
Dalam pemilihan ini tentu ada pihak yang menang dan yang kalah. Karena itu, tentu ada pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil ini. Dan, pihak yang merasa menang biasanya larut dalam eforia kemenangan.
Pihak-pihak yang merasa kalah cenderung tidak puas dan biasanya mencari titik-titik kelemahan dengan harapan membatalkan kemenangan rivalnya atau kalau memungkinkan membalikan keadaan. Berbagai cara pun bisa dilakukan, baik dengan cara-cara yang elegan, misalnya, melalui jalur hukum dengan mengajukan pembuktiaan ketidakjujuran pihak yang menang atau dengan cara-acara anarkis.
Kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia tentunya tidak menginginkan pilpres tahun 2009 ini menjadi ricuh karena perbuatan oknum-oknum yang tidak puas dengan hasil yang ada. Artinya, semua komponen masyarakat Indonesia harus menerima siapapun yang terpilih yang akan diumumkan oleh KPU nanti.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfudz MD mengajak semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pilpres untuk melaksanakan tugas dengan jujur dan demokratis serta bersikap sportif menghadapi sengketa yang mungkin muncul usai penetapan hasil pilpres pada 8 Agustus 2009. Maksudnya, bila ada sengketa di kemudian hari, maka jalur hukumlah yang bisa dipakai, bukan jalur-jalur main hakim sendiri.
Apalagi masing-masing pihak dalam pesta ini juga sudah mengatakan bahwa siap menerima kekalahan dan juga siap menerima kemenangan. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono, meski sebagai capres dan calon wakil presiden menyatakan legowo menerima apapun hasil pilpres 2009. Dan, pasangan lainnya pun sudah menyatakan siap menerima kekalahan bila pilpres kali ini dilaksanakan secara jujur, adil dan demokratis.
Meskipun pilihan kita berbeda, namun kita harus sadar bahwa kita masih satu bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih terus bergerak maju untuk menjadi bangsa dan negara yang besar. Demikian pula kita di bumi Flobamora yang merupakan bagian dari NKRI harus maju sejalan dengan NKRI. Bila di antara kita punya pilihan politik yang berbeda maka itu adalah hak yang sudah hal yang diberikan oleh negara.
Kerja keras tim sukses pasangan Mega-Pro, SBY-Boediono dan JK-Win di NTT telah tergambar dalam hasil Pilpres kali ini. Dan, kalah atau menang harus diterima sebagai konsekuensi dari sebua peristiwa demokrasi, karena negara ini hanya memerlukan satu orang pemimpin.
Kita warga NTT juga telah memilih presiden, namun kita harus tahu bahwa pekerjaan membangun NTT tidak berhenti di sini. Masih ada jalan panjang yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Propinsi NTT bersama segenap warga Flobamora. Yang kalah jangan larut dalam kesedihan dan yang menang juga tidak boleh terbawa arus eforia kemenangan, karena NTT kini sedang memasuki musim panas.
Kita tahu bahwa saat musim panas, beberapa wilayah di NTT selalu menjadi langganan gagal panen, kekeringan dan kekurangan pangan hingga busung lapar. Marilah kita bersiap-siap mengatasi berbagai ancaman reguler ini. *pk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar