Sabtu, 18 Juli 2009

Teror


Setelah beberapa tahun "aman dan damai", kita kembali kecolongan. Peledakan bom di Jakarta, di dua tempat itu - Hotel JW MArriot dan Ritz Carlton menewaskan sedikitnya 9 korban.
Peledakan di tempat, bulan dan pola yang hampir sama menunjukkan,
teror dan terorisme seperti berlangsung dalam sebuah siklus, mengikuti regularitas, sehingga mampu mereproduksi diri sendiri.

Menurut pandangan Yasraf Amir Piliang, Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung, "Siklus, regularitas, dan reproduksi teror memampukan teroris mengorganisasi ruang (tempat peledakan), waktu (kapan
diledakkan), sehingga ada waktu yang dianggap ”musim panen” terorisme (biasanya September-Oktober) di dalamnya
berbagai peristiwa teror besar berlangsung— the regularity of terror.

Kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasi ruang, waktu, taktik, strategi dan ”teknologi teror” itu sendiri
memperlihatkan bahwa ada seperangkat ”pengetahuan”, metode diseminasi, paradigma dan konstruksi sosial
pengetahuan tertentu yang dikembangkan di dalam terorisme sehingga ia mampu melakukan tindak sosial (peledakan,
penghancuran) secara reguler dan sistematis—the knowledge of terror.

Berbeda dengan bentuk-bentuk tindak sosial dan kekerasan lainnya yang hanya dilihat sebagai sebuah fenomena fisik
semata, tindak kekerasan di dalam teror dapat dilihat sebagai sebuah ’pernyataan’ (statement), yaitu tindak kekerasan
sebagai cara untuk mengomunikasikan pesan (politik) tertentu. Sehingga, teror harus dilihat pula sebagai sebuah bentuk
komunikasi atau wacana, yang pernyataannya menuntut sebuah jawaban, respons atau reaksi dari pihak lain—the
discourse of terror.

Meskipun para teroris sebagai ’pengirim pesan’ (sender) tidak pernah menampakkan dirinya—dan sering kali menjadi
sebuah misteri bahkan mitos—tindak dan ”pernyataan” para teroris (berupa peledakan bom dan bentuk teror lainnya)
adalah nyata dan konkret, yang memerlukan upaya intensif tidak saja membongkar para pelakunya, tetapi juga
menafsirkan pesan-pesan (messages) yang ingin disampaikannya.

Arkeologi teror

Disebabkan teror adalah sebuah wacana (discourse), yang di dalamnya tidak hanya beroperasi berbagai tindakan fisik,
melainkan juga berbagai ”pernyataan” atau ”pesan” tertentu yang menuntut respons tertentu, maka sesungguhnya ada
sebuah ’formasi wacana’ (discourse formation) tertentu yang membangun tindakan terorisme, dengan memanfaatkan
secara maksimal berbagai kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang ada.

Michel Foucault di dalam The Archeology of Knowledge (1989) menjelaskan berbagai bentuk wacana (termasuk wacana
terorisme) sebagai sebuah bentuk ’arkeologi’ (archeology), yaitu istilah khusus untuk menjelaskan bagaimana
pengetahuan yang dikembangkan, relasi sosial yang terbentuk, aktor-aktor dan institusi yang terlibat, serta formasi bahasa
(termasuk bahasa kekerasan) yang digunakan akan sangat menentukan pernyataan dan makna yang beroperasi di dalam
wacana (termasuk wacana terorisme).

”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya pengetahuan (savoir) yang dilibatkan di dalam setiap tindakan teror: teknologi
teror (pengetahuan bahan, teknologi merakit, prosedur meledakkan), sosiologi teror (kondisi sosial, relasi sosial dan
formasi sosial yang ada), psikologi teror (suasana hati dan kondisi psikologis yang mendukung), dan politik teror (relasi
kekuasaan dan struktur politik yang ada). Teror tidak saja sarat kekerasan, tetapi juga sarat pengetahuan.

”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya ”riset” yang dilakukan untuk mendukung sebuah tindakan teror: aspek geografis
tentang di mana akan melakukan aksi teror, aspek sosial tentang siapa korban yang akan menjadi sasaran, observasi
intensif pada lokasi sasaran, pengintaian (surveillance) pada gerak-gerik di dalam lokasi itu, aspek teknologis tentang
besarnya tenaga ledakan dan besarnya efek kehancuran yang dihasilkannya.

”Arkeologi teror” menunjukkan strategi, taktik dan teknik tinggi yang digunakan di dalam sebuah tindakan teror, melalui
kemampuan tinggi menafsirkan kondisi ruang-waktu yang ada untuk menentukan keputusan-keputusan yang diambil:
mengapa meledakkan di JW Marriot dan Ritz Carlton, bukan di tempat lain; mengapa meledakkan pada 17 Juli pagi, bukan waktu yang lain; mengapa melakukan bunuh diri, bukan bom jarak jauh.

”Arkeologi teror” menunjukkan ’politik waktu’ (chronopolitics) yang digunakan di dalam tindakan teror, yaitu politik global
pengorganisasian waktu dan intensitas penyerangan, yang membentuk sebuah siklus dan regularitas teror. Peledakan
bom Bali Oktober 2005 ini yang hampir bersamaan dengan peledakan Oktober 2002 menunjukkan pola regularitas ini,
yang menjelaskan tentang siklus ke depan aktivitas terorisme.

”Arkeologi teror” menunjukkan ’efek wacana’ (effect of discourse) terhadap masyarakat pada umumnya, melalui penafsiran
terhadap ”pernyataan teror”, pesan-pesan (sosial-politik) yang ingin dikomunikasikan, dan respons sosial yang dihasilkan
(ketakutan, trauma, paranoia). Peledakan bom Jakarta 2009 di sekisaran proses akhir Pemilu 2009 di Indonesia telah menimbulkan efek ganda teror, yang memungkinkan adanya relasinya dengan peristiwa itu, di samping relasi-relasi lainnya—the double effect of terror.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar