
Ledakan bom kembali terjadi untuk ke sekian kalianya. Jumat, 17/7, Hotel JW Marriot Jakarta dan Ritz Carlton, dua hotel bintang lima bertaraf internasional yang dikenal sangat secure dalam pengamanannya justru terjadi ledakan bom hanya berselang sekitar dua belas menit pada pagi hari.
Ledakan bom ini kembali mengguncang rasa kesadaran sebagai warga setelah sekitar lima tahun terakhir tidak lagi terdengar. Peledakan bom ini menjadi keprihatinan semua masyarakat beradab karena sungguh sangat mengoyak nilai dan rasa kemanusiaan. Sudah tak terhitung kejadian dan peristiwa semacamnya meluluhlantahkan segenap aset dengan kerugian tak terkira, dan susul menyusul sesudahnya, korban sesama manusia pun berjatuhan, tanpa mereka sendiri kehendaki.
Diduga kuat, peledakan terjadi lewat bom bunuh diri yang melukai sekitar 53 orang dan menewaskan 9 orang, beberapa di antaranya warga negara asing. Di lokasi ledakan Hotel Marriott kamar 808, ditemukan bom aktif dalam sebuah laptop. Pelaku peledakan ditenggarai menginap di hotel ini selama tiga hari.
Peledakan bom kali ini, merupakan modus baru terorisme terkini. Artinya, ada peningkatan pola dan gaya kerja para teroris. Dari menggunakan mobil seperti di bom Bali I, bom Marriot I, Kedubes Australia, meningkat dengan pola bom bunuh diri seperti di bom Bali II, dan kini meningkat lagi dengan masuk ke dalam lalu meledakan bom. Patut diduga, bom itu berhasil diledakan dengan melibatkan orang dalam (karyawan hotel), setidaknya memberi peluang.
Dari bahan bom dan pola terorisme yang digunakan, untuk sementara disimpulkan, jaringan terorisme internasional, Al Qaedah, kini masih berada dan beroperasi di Indonesia. Organisasi sayap dari terorisme ini disebut Jamaah Islamyah, yang merkrut dan melatih para kadernya sebagai teroris terkini, yang berhasil mengepakkan sayapnya hingga ke seluruh kawasan Asia Tenggara. (tentang JI ini, bisa diikuti tulisan di media ini pada edisi mendatang).
Polisi mensinyalir, JI ring dari Cilacap dan Palembang berada di balik kejadian ini. Artinya, ideologi yang melatari aksi para pelaku bom sesungguhnya telah menjadi sebab dari rangkaian peristiwa peledakan bom dan kekerasan, yang sudah terjadi di sebagian besar wilayah nusantara. Diketahui, selain kedua tempat di atas, ring Semarang, Yogyakarta, Solo dan Banten berada di bawah pengaruh Noordin M Top, salah satu tokoh utama teroris di Indonesia selain Zulkarnaen, Dulmatin dan Umar Patek yang dilansir kini berada di Filipina.
Gembong teroris ini berkewarganegaraan Malaysia, tapi lari ke Indonesia setelah diberlakukan ketentuan keamanan dalam negeri (NSA) di negara itu. Sebelumnya, dia berkerja sebagai guru dan sempat mengajar di Pesantren Lukmanul Hakiem di Johor Baru tempat Abubakar Ba’ayir berdakwa dan masuk menjadi anggota dari Jamaah Islamyah yang dipimpin Ustad Ba’ayir. Dia sendiri bukan alumni Afganistan. Noordin memiliki keahlian merakit bom yang diperoleh dari tempat pelatihannya di Moro, Filipina Selatan dan belajar lewat Dr. Azahari, teroris yang sudah ditembak mati di Malang beberapa tahun lalu. Sumber intelijen menyebut, saat ini Noordin M Top menjadi Komandan Al Qaedah di Asia Timur termasuk Indonesia.
Bangsa yang Gampang Lupa
Untuk ke sekian kalinya, bom meledak tanpa bisa terdeteksi terlebih dahulu oleh aparat negara. Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar mengaku aparatnya lengah. Begitu juga bisa dinilai, petugas keamanan di Hotel JW Marriott lagi-lagi lalai dalam bertindak preventif terhadap ancaman keamanan setelah tahun 2003 lalu pernah terjadi kasus serupa.
Warga bangsa ini, termasuk para aparat keamanan selalu terserang penyakit massal bernama lupa. Bagi yang masih punya akal sehat tentu terganggu dengan peristiwa semacam ini. Pasalnya, sudah banyak kejadian semacamnya sebelum ini telah memporakporandakan harta benda serta melenyapkan begitu banyak nyawa anak bangsa sendiri. Tapi bangsa ini, terutama para elit dan aparatnya mengidap epidemi dari penyakit yang sama bernama: lupa.
Bisa ditengok perangai para elit. Misalnya, ketika Faturrahman Al Ghozy, seorang pimpinan JI yang menjadi komandan beberapa peristiwa teror bom di Filipina berhasil ditembak aparat di negara itu. Terlihat tangan-tangan elit nasional sibuk mengurus bagaimana memulangkan jenasah Al Ghozi dari Filipina. Tiba di tanah air, sejumlah elit nasional tampak antusias datang melayat dan jenazahnya diterima bagai seorang pahlawan yang gugur di medan pertempuran.
Fenomena serupa juga terjadi saat usai eksekusi hukuman mati terhadap ketiga pelaku bom Bali I: Imam Samudra, Muklas dan Amrozy. Jenasah mereka diterima bahkan diarak bagai pahlawan oleh masyarakat. Pers pun terlihat begitu naif dan konyol, larut dalam ketololan nalar publik, dengan luas memberitakan peristiwa itu.
Semua pihak, dari elit, kaum terpelajar hingga pers, sama-sama terserang epidemi “virus lupa.” Bahwa akibat terorisme itu telah menghilangkan nyawa ratusan bahkan ribuan warga bangsa dengan kerugian materi yang tidak terkira. Pada sisi lain, fenomena ini memperlihatkan terorisme yang berkedok ideologi agama ini oleh sebagian kalangan, mereka masih dilihat sebagai pejuang sejati dan pahlawan bagi mereka, walau dikutuk oleh warga dunia yang beradab.
Dengan fenomena terkini, semoga saja, masyarakat di Flores dan sekitarnya tidak terjangkit epidemi virus lupa. Keterlibatan JI dalam kasus kekerasan, teror dan bom ini mengingatkan publik akan Kasus Poso yang telah telah memicuh keterlibatan ketiga putra Flores, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu di tanah transmigran di Poso dan sekitarnya. Mereka telah menjadi “kambing hitam” yang harus dikorbankan di atas altar politik negeri ini demi dendam, selera primitif dan sikap akomodatif penguasa yang peragu dan kuatir akan kehilangan popularitas di mata konstituen.
Boleh diibaratkan, bagi bangsa ini, terorisme (bom bunuh diri) itu, bergerak seperti badai. Kita hanya bisa merasakan dampak yang diakibatkan tapi sejauh ini tidak bisa dilihat dan diamati dengan jelas sosok dan bentuknya.
Pertanyaannya, mengapa harus terjadi bom bunuh diri, siapa gerangan yang memiliki nyali semacam itu? Binatang apakah Jamaah Islamiyah itu, dari mana si kunyuk biadab itu berembrio dan mengapa para kadernya bisa punya mentalitas di luar akal sehat manusia?
Masih banyak pertanyaan bisa diajukan lagi, setidaknya untuk bisa memenuhi selera ingin tahu kita tentang peristiwa yang menghebohkan ini tapi tetap sangat sulit diberantas ini. Soalnya, jangan-jangan, pelaku bom bunuh diri dan jaringan terorisme itu kini sudah ada di sekitar kita. Tiap hari rajin berdoa, rutin ke tempat ibadah dan suka mengulurkan tangan membantu sesama. Yang tidak kita duga, petaka itu sudah ada dan sedang menghampiri kita sewaktu-waktu.
Sesungguhnya sejak peledakan bom malam Natal 2000, terjadi di 11 kota dalam waktu yang hampir bersamaan serta peledakan Mesjid Istiqlal, Jakarta, sebetulnya dugaan adanya aksi terorisme terorganisir sudah bisa diendus pihak aparat. Hanya para elit negeri ini dan aparat keamanan masih enggan bicara terbuka. Agaknya mereka kuatir akan emosi masyarakat mayoritas di balik ideologi keagamaan yang diusung gerakan itu. Baru pada kasus bom Bali 1 yang menewaskan 206 (sebagian besar turis asing), atas tekanan internasional, pemerintah terpaksa agak tegas menghukum para pelaku secara cukup adil.
Usai peledakan WTC di New York, AS, 11/9/2002, sejumlah tumpukan dokumen penting dibuka pihak intelijen. Elit politik negeri ini dan sejumlah tokoh penting yang awalnya selalu menyangkal adanya gerakan fundamentalis berkedok agama, kehabisan argumentasi untuk menyangkal setelah sejumlah tumpukan dokumen dibeberkan pihak intelijen.
Indonesia Sarang Teroris Berkedok Islam
Behauptung Ohne Beweis, dugaan tanpa bukti, bukan hanya sekedar sebuah azas dalam dunia intelijen. Dari sejumlah peristiwa teror dan peledakan bom, ditemukan sebuah jaringan mendunia yang terorganisir rapi, rahasia serta militan berada di balik kejadian yang mengerikan itu.
Dalam laporannya, dokumen penting intelijen itu menyebut adanya organisasi bernama Jamaah Islamiyah (JI) sebagai sebuah anasir dari gerakan teroris dunia dan Indonesia disebut sebagai sebuah negara yang subur menyemai gerakan itu. Beberapa tokoh penting dari jaringan teroris dunia itu (Al Qaedah) justeru dipimpin oleh orang Indonesia. Mereka direkrut dan dikaderkan beberapa tahun lamanya dan ikut terlibat di medan perang Afganistan. Usai perang, JI pun mengepakkan sayapnya ke hampir seluruh Asia Tenggara untuk satu tujuan: Terbentuknya Khilafa Islamiyah yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Philipina, Burnei dan Thailand Selatan.
Ke arah pencapaian tujuan tersebut, dana puluhan miliar dolar sudah digelontorkan dari Timur Tengah, untuk aktivitas mereka di Indonesia, setidaknya untuk 20 tahun terakhir ini. Sesudah reformasi anasir JI mulai bermetamorfosis di Indonesia lewat sekitar 15 organisasi dengan nama Forum, Laskar atau Front. Mereka ini sebelum dan sesaat setelah pemboman WTC sangat marak bergerak di tanah air, dari Jakarta hingga ke daerah-daerah.
Bahkan menurut sumber Sidney Jones dari Crisis Centre, para teroris itu berhasil menyusupkan ideologinnya dan bermetamorfosis lewat kegiatan keagamaan seperti Tarbiyah atau Majelis Ta’lim. Kini, Gur Dur dalam buku: Ilusi Negara Islam, mengungkapkan, anasir dari kekuatan ini sudah menyusup hingga ke Istana Megara, menduduki sejumlah jabatan penting di lingkaran kekuasaan negara, serta memenuhi kursi di parlemen baik pusat maupun daerah.
Nama Jamaah Islamiyah (JI) telah mengemuka sebagai jaringan teroris yang menakutkan sejak usai peledakan WTC di New York, AS, 11/9/2002 lalu. Walau para petinggi negara dan tokoh masyarakat membantah soal ini, tapi data yang dimiliki intelijen luar negeri seperti AS, Inggris dan Australia cukup lengkap tentang keberadaan organisasi yang didirikan oleh Abukabar Ba’ayir dan Abdulla Sungkar, ini sebagai basis teroris.
Sumber intelijen beberapa negara itu mengkonfirmasi Indonesia menjadi sarang JI sekaligus pusat base camp pengkaderan anggotanya setelah diusir dari Malaysia. Beberapa tempat antara Poso, Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan sentra pengkaderan anggota JI.
Data intelijen sejak lama telah mengendus keberadaan JI bahwa sejak dikejar dari Malaysia dan Singapura, mereka telah berhasil memindahkan sentra markas dan kamp pelatihannya ke Poso, sebuah daerah yang strategis secara militer. Dari tempat ini para kader baru JI melanjutkan pendidikan dan pelatihan mereka ke kamp milik JI Indonesia di Filipina ataupun sebagai tempat persinggahan setelah sekembalinya dari sana. Dari Poso juga para kader terlatih itu disebar ke seluruh wilayah lainnya di nusantara. Tidak sedikit kader binaan Poso diterjunkan untuk terlibat aktif dalam konflik Ambon lalu Poso yang diibaratkan sebagai medan latihan perang.
Man behind the scene, jika merunut segenap kisah dan rekam jejak para pelakunya, dapat dipastikan, aktor intelektual di balik terorisme bukan orang kebanyakan. Pelaku terorisme sebelumnya boleh jadi adalah orang-orang biasa, namun mereka sudah direkrut, dididik dan dilatih untuk memiliki keahlian khusus. Untuk peristiwa teroris dekade terakhir umumnya kemampuan itu dimiliki para alumni Afganistan, sebuah julukan bagi sekitar 300-an orang Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan dan pelatihan perang di Afganistan (Ikuti tulisan dalam media ini edisi berikut).
Seperti diungkap oleh Nasir Abbas dalam bukunya Membongkar Jamaah Islamiyah alumni Afganistan terdiri dari 13 angkatan. Di medan perang Afganistan, awalnya peserta dari Indonesia bergabung dalam camp Mujahidin Arab, hanya setelah itu, mendirikan camp sendiri yang menghimpun anggota dari Indonesia, Malaysia dan Filipina Selatan. Mereka tidak hanya piawai melakukan teror, peledakan bom dan perampokan uang dan emas sebagai sumber dana bagi aksi terorisme tapi juga nekat melakukan bom bunuh diri sambil tersenyum karena yakin dengan melakukan aksi mengerikan itu, surga sudah ada di pelupuk mata.
Dari 300-an orang Indonesia alumni Afganistan, walau tidak lagi terlibat dalam organisasi teroris, bisa diyakini, kebersamaan dalam jaringan ini masih tetap terpelihara, apakah sebagai pelindung atau sebagai aktor-aktor lokal dalam rekrutmen kader baru yang terus beranak pinak. Belum lagi, para teroris yang berhasil ditangkap dan dijebloskan ke panjara -- selain hanya tiga orang yang dieksekusi mati -- saat ini banyak sudah menghirup udara bebas.
Bisa diprediksi para kader binaan kekuatan teroris ini masih terus beranak pinak lewat berbagai nama dan bentuk tapi tetap dalam ideologi perjuangan yang sama. Semua itu memperlihatkan indikasi yang jelas, peledakan bom bunuh diri di Jumat, 17/7/2009 ini bukanlah akhir dari kisah kekerasan atas nama ideologi keagamaan (Islam) di tanah air, lewat jihad yang dipegang teguh, demi surga di pelupuk mata.
Kini walau banyak pentolan teroris sudah berhasil dibekuk aparat, tapi bisa dipastikan masih banyak lagi orang muda Indonesia lainnya yang diketahui berpredikat alumni perang Afganistan. Karena itu dapat diprediksi tertangkapnya sejumlah pelaku pengeboman serta anasirnya dan bom bunuh diri di dua hotel terkini, bukanlah akhir dari fenomena ancaman terorisme. Masih banyak lagi yang masih berkeliaran bebas di luar dengan bom-bom maut di tangan lewat serangan yang mematikan.***** (Stanislaus Soda Herin, Editor Buku Dr. AC Manullang: Terorisme dan Perang Intelijen- dokumen Mingguan ASAS)