Jumat, 31 Juli 2009

Biografi Chairil Anwar (1922 – 1949)


Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Sabtu, 25 Juli 2009

Terorisme - Bom Bunuh Diri: Demi Surga Di Pelupuk Mata


Ledakan bom kembali terjadi untuk ke sekian kalianya. Jumat, 17/7, Hotel JW Marriot Jakarta dan Ritz Carlton, dua hotel bintang lima bertaraf internasional yang dikenal sangat secure dalam pengamanannya justru terjadi ledakan bom hanya berselang sekitar dua belas menit pada pagi hari.
Ledakan bom ini kembali mengguncang rasa kesadaran sebagai warga setelah sekitar lima tahun terakhir tidak lagi terdengar. Peledakan bom ini menjadi keprihatinan semua masyarakat beradab karena sungguh sangat mengoyak nilai dan rasa kemanusiaan. Sudah tak terhitung kejadian dan peristiwa semacamnya meluluhlantahkan segenap aset dengan kerugian tak terkira, dan susul menyusul sesudahnya, korban sesama manusia pun berjatuhan, tanpa mereka sendiri kehendaki.
Diduga kuat, peledakan terjadi lewat bom bunuh diri yang melukai sekitar 53 orang dan menewaskan 9 orang, beberapa di antaranya warga negara asing. Di lokasi ledakan Hotel Marriott kamar 808, ditemukan bom aktif dalam sebuah laptop. Pelaku peledakan ditenggarai menginap di hotel ini selama tiga hari.
Peledakan bom kali ini, merupakan modus baru terorisme terkini. Artinya, ada peningkatan pola dan gaya kerja para teroris. Dari menggunakan mobil seperti di bom Bali I, bom Marriot I, Kedubes Australia, meningkat dengan pola bom bunuh diri seperti di bom Bali II, dan kini meningkat lagi dengan masuk ke dalam lalu meledakan bom. Patut diduga, bom itu berhasil diledakan dengan melibatkan orang dalam (karyawan hotel), setidaknya memberi peluang.
Dari bahan bom dan pola terorisme yang digunakan, untuk sementara disimpulkan, jaringan terorisme internasional, Al Qaedah, kini masih berada dan beroperasi di Indonesia. Organisasi sayap dari terorisme ini disebut Jamaah Islamyah, yang merkrut dan melatih para kadernya sebagai teroris terkini, yang berhasil mengepakkan sayapnya hingga ke seluruh kawasan Asia Tenggara. (tentang JI ini, bisa diikuti tulisan di media ini pada edisi mendatang).
Polisi mensinyalir, JI ring dari Cilacap dan Palembang berada di balik kejadian ini. Artinya, ideologi yang melatari aksi para pelaku bom sesungguhnya telah menjadi sebab dari rangkaian peristiwa peledakan bom dan kekerasan, yang sudah terjadi di sebagian besar wilayah nusantara. Diketahui, selain kedua tempat di atas, ring Semarang, Yogyakarta, Solo dan Banten berada di bawah pengaruh Noordin M Top, salah satu tokoh utama teroris di Indonesia selain Zulkarnaen, Dulmatin dan Umar Patek yang dilansir kini berada di Filipina.
Gembong teroris ini berkewarganegaraan Malaysia, tapi lari ke Indonesia setelah diberlakukan ketentuan keamanan dalam negeri (NSA) di negara itu. Sebelumnya, dia berkerja sebagai guru dan sempat mengajar di Pesantren Lukmanul Hakiem di Johor Baru tempat Abubakar Ba’ayir berdakwa dan masuk menjadi anggota dari Jamaah Islamyah yang dipimpin Ustad Ba’ayir. Dia sendiri bukan alumni Afganistan. Noordin memiliki keahlian merakit bom yang diperoleh dari tempat pelatihannya di Moro, Filipina Selatan dan belajar lewat Dr. Azahari, teroris yang sudah ditembak mati di Malang beberapa tahun lalu. Sumber intelijen menyebut, saat ini Noordin M Top menjadi Komandan Al Qaedah di Asia Timur termasuk Indonesia.

Bangsa yang Gampang Lupa
Untuk ke sekian kalinya, bom meledak tanpa bisa terdeteksi terlebih dahulu oleh aparat negara. Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar mengaku aparatnya lengah. Begitu juga bisa dinilai, petugas keamanan di Hotel JW Marriott lagi-lagi lalai dalam bertindak preventif terhadap ancaman keamanan setelah tahun 2003 lalu pernah terjadi kasus serupa.
Warga bangsa ini, termasuk para aparat keamanan selalu terserang penyakit massal bernama lupa. Bagi yang masih punya akal sehat tentu terganggu dengan peristiwa semacam ini. Pasalnya, sudah banyak kejadian semacamnya sebelum ini telah memporakporandakan harta benda serta melenyapkan begitu banyak nyawa anak bangsa sendiri. Tapi bangsa ini, terutama para elit dan aparatnya mengidap epidemi dari penyakit yang sama bernama: lupa.
Bisa ditengok perangai para elit. Misalnya, ketika Faturrahman Al Ghozy, seorang pimpinan JI yang menjadi komandan beberapa peristiwa teror bom di Filipina berhasil ditembak aparat di negara itu. Terlihat tangan-tangan elit nasional sibuk mengurus bagaimana memulangkan jenasah Al Ghozi dari Filipina. Tiba di tanah air, sejumlah elit nasional tampak antusias datang melayat dan jenazahnya diterima bagai seorang pahlawan yang gugur di medan pertempuran.
Fenomena serupa juga terjadi saat usai eksekusi hukuman mati terhadap ketiga pelaku bom Bali I: Imam Samudra, Muklas dan Amrozy. Jenasah mereka diterima bahkan diarak bagai pahlawan oleh masyarakat. Pers pun terlihat begitu naif dan konyol, larut dalam ketololan nalar publik, dengan luas memberitakan peristiwa itu.
Semua pihak, dari elit, kaum terpelajar hingga pers, sama-sama terserang epidemi “virus lupa.” Bahwa akibat terorisme itu telah menghilangkan nyawa ratusan bahkan ribuan warga bangsa dengan kerugian materi yang tidak terkira. Pada sisi lain, fenomena ini memperlihatkan terorisme yang berkedok ideologi agama ini oleh sebagian kalangan, mereka masih dilihat sebagai pejuang sejati dan pahlawan bagi mereka, walau dikutuk oleh warga dunia yang beradab.
Dengan fenomena terkini, semoga saja, masyarakat di Flores dan sekitarnya tidak terjangkit epidemi virus lupa. Keterlibatan JI dalam kasus kekerasan, teror dan bom ini mengingatkan publik akan Kasus Poso yang telah telah memicuh keterlibatan ketiga putra Flores, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu di tanah transmigran di Poso dan sekitarnya. Mereka telah menjadi “kambing hitam” yang harus dikorbankan di atas altar politik negeri ini demi dendam, selera primitif dan sikap akomodatif penguasa yang peragu dan kuatir akan kehilangan popularitas di mata konstituen.
Boleh diibaratkan, bagi bangsa ini, terorisme (bom bunuh diri) itu, bergerak seperti badai. Kita hanya bisa merasakan dampak yang diakibatkan tapi sejauh ini tidak bisa dilihat dan diamati dengan jelas sosok dan bentuknya.
Pertanyaannya, mengapa harus terjadi bom bunuh diri, siapa gerangan yang memiliki nyali semacam itu? Binatang apakah Jamaah Islamiyah itu, dari mana si kunyuk biadab itu berembrio dan mengapa para kadernya bisa punya mentalitas di luar akal sehat manusia?
Masih banyak pertanyaan bisa diajukan lagi, setidaknya untuk bisa memenuhi selera ingin tahu kita tentang peristiwa yang menghebohkan ini tapi tetap sangat sulit diberantas ini. Soalnya, jangan-jangan, pelaku bom bunuh diri dan jaringan terorisme itu kini sudah ada di sekitar kita. Tiap hari rajin berdoa, rutin ke tempat ibadah dan suka mengulurkan tangan membantu sesama. Yang tidak kita duga, petaka itu sudah ada dan sedang menghampiri kita sewaktu-waktu.
Sesungguhnya sejak peledakan bom malam Natal 2000, terjadi di 11 kota dalam waktu yang hampir bersamaan serta peledakan Mesjid Istiqlal, Jakarta, sebetulnya dugaan adanya aksi terorisme terorganisir sudah bisa diendus pihak aparat. Hanya para elit negeri ini dan aparat keamanan masih enggan bicara terbuka. Agaknya mereka kuatir akan emosi masyarakat mayoritas di balik ideologi keagamaan yang diusung gerakan itu. Baru pada kasus bom Bali 1 yang menewaskan 206 (sebagian besar turis asing), atas tekanan internasional, pemerintah terpaksa agak tegas menghukum para pelaku secara cukup adil.
Usai peledakan WTC di New York, AS, 11/9/2002, sejumlah tumpukan dokumen penting dibuka pihak intelijen. Elit politik negeri ini dan sejumlah tokoh penting yang awalnya selalu menyangkal adanya gerakan fundamentalis berkedok agama, kehabisan argumentasi untuk menyangkal setelah sejumlah tumpukan dokumen dibeberkan pihak intelijen.

Indonesia Sarang Teroris Berkedok Islam
Behauptung Ohne Beweis, dugaan tanpa bukti, bukan hanya sekedar sebuah azas dalam dunia intelijen. Dari sejumlah peristiwa teror dan peledakan bom, ditemukan sebuah jaringan mendunia yang terorganisir rapi, rahasia serta militan berada di balik kejadian yang mengerikan itu.
Dalam laporannya, dokumen penting intelijen itu menyebut adanya organisasi bernama Jamaah Islamiyah (JI) sebagai sebuah anasir dari gerakan teroris dunia dan Indonesia disebut sebagai sebuah negara yang subur menyemai gerakan itu. Beberapa tokoh penting dari jaringan teroris dunia itu (Al Qaedah) justeru dipimpin oleh orang Indonesia. Mereka direkrut dan dikaderkan beberapa tahun lamanya dan ikut terlibat di medan perang Afganistan. Usai perang, JI pun mengepakkan sayapnya ke hampir seluruh Asia Tenggara untuk satu tujuan: Terbentuknya Khilafa Islamiyah yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Philipina, Burnei dan Thailand Selatan.
Ke arah pencapaian tujuan tersebut, dana puluhan miliar dolar sudah digelontorkan dari Timur Tengah, untuk aktivitas mereka di Indonesia, setidaknya untuk 20 tahun terakhir ini. Sesudah reformasi anasir JI mulai bermetamorfosis di Indonesia lewat sekitar 15 organisasi dengan nama Forum, Laskar atau Front. Mereka ini sebelum dan sesaat setelah pemboman WTC sangat marak bergerak di tanah air, dari Jakarta hingga ke daerah-daerah.
Bahkan menurut sumber Sidney Jones dari Crisis Centre, para teroris itu berhasil menyusupkan ideologinnya dan bermetamorfosis lewat kegiatan keagamaan seperti Tarbiyah atau Majelis Ta’lim. Kini, Gur Dur dalam buku: Ilusi Negara Islam, mengungkapkan, anasir dari kekuatan ini sudah menyusup hingga ke Istana Megara, menduduki sejumlah jabatan penting di lingkaran kekuasaan negara, serta memenuhi kursi di parlemen baik pusat maupun daerah.
Nama Jamaah Islamiyah (JI) telah mengemuka sebagai jaringan teroris yang menakutkan sejak usai peledakan WTC di New York, AS, 11/9/2002 lalu. Walau para petinggi negara dan tokoh masyarakat membantah soal ini, tapi data yang dimiliki intelijen luar negeri seperti AS, Inggris dan Australia cukup lengkap tentang keberadaan organisasi yang didirikan oleh Abukabar Ba’ayir dan Abdulla Sungkar, ini sebagai basis teroris.
Sumber intelijen beberapa negara itu mengkonfirmasi Indonesia menjadi sarang JI sekaligus pusat base camp pengkaderan anggotanya setelah diusir dari Malaysia. Beberapa tempat antara Poso, Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan sentra pengkaderan anggota JI.
Data intelijen sejak lama telah mengendus keberadaan JI bahwa sejak dikejar dari Malaysia dan Singapura, mereka telah berhasil memindahkan sentra markas dan kamp pelatihannya ke Poso, sebuah daerah yang strategis secara militer. Dari tempat ini para kader baru JI melanjutkan pendidikan dan pelatihan mereka ke kamp milik JI Indonesia di Filipina ataupun sebagai tempat persinggahan setelah sekembalinya dari sana. Dari Poso juga para kader terlatih itu disebar ke seluruh wilayah lainnya di nusantara. Tidak sedikit kader binaan Poso diterjunkan untuk terlibat aktif dalam konflik Ambon lalu Poso yang diibaratkan sebagai medan latihan perang.
Man behind the scene, jika merunut segenap kisah dan rekam jejak para pelakunya, dapat dipastikan, aktor intelektual di balik terorisme bukan orang kebanyakan. Pelaku terorisme sebelumnya boleh jadi adalah orang-orang biasa, namun mereka sudah direkrut, dididik dan dilatih untuk memiliki keahlian khusus. Untuk peristiwa teroris dekade terakhir umumnya kemampuan itu dimiliki para alumni Afganistan, sebuah julukan bagi sekitar 300-an orang Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan dan pelatihan perang di Afganistan (Ikuti tulisan dalam media ini edisi berikut).
Seperti diungkap oleh Nasir Abbas dalam bukunya Membongkar Jamaah Islamiyah alumni Afganistan terdiri dari 13 angkatan. Di medan perang Afganistan, awalnya peserta dari Indonesia bergabung dalam camp Mujahidin Arab, hanya setelah itu, mendirikan camp sendiri yang menghimpun anggota dari Indonesia, Malaysia dan Filipina Selatan. Mereka tidak hanya piawai melakukan teror, peledakan bom dan perampokan uang dan emas sebagai sumber dana bagi aksi terorisme tapi juga nekat melakukan bom bunuh diri sambil tersenyum karena yakin dengan melakukan aksi mengerikan itu, surga sudah ada di pelupuk mata.
Dari 300-an orang Indonesia alumni Afganistan, walau tidak lagi terlibat dalam organisasi teroris, bisa diyakini, kebersamaan dalam jaringan ini masih tetap terpelihara, apakah sebagai pelindung atau sebagai aktor-aktor lokal dalam rekrutmen kader baru yang terus beranak pinak. Belum lagi, para teroris yang berhasil ditangkap dan dijebloskan ke panjara -- selain hanya tiga orang yang dieksekusi mati -- saat ini banyak sudah menghirup udara bebas.
Bisa diprediksi para kader binaan kekuatan teroris ini masih terus beranak pinak lewat berbagai nama dan bentuk tapi tetap dalam ideologi perjuangan yang sama. Semua itu memperlihatkan indikasi yang jelas, peledakan bom bunuh diri di Jumat, 17/7/2009 ini bukanlah akhir dari kisah kekerasan atas nama ideologi keagamaan (Islam) di tanah air, lewat jihad yang dipegang teguh, demi surga di pelupuk mata.
Kini walau banyak pentolan teroris sudah berhasil dibekuk aparat, tapi bisa dipastikan masih banyak lagi orang muda Indonesia lainnya yang diketahui berpredikat alumni perang Afganistan. Karena itu dapat diprediksi tertangkapnya sejumlah pelaku pengeboman serta anasirnya dan bom bunuh diri di dua hotel terkini, bukanlah akhir dari fenomena ancaman terorisme. Masih banyak lagi yang masih berkeliaran bebas di luar dengan bom-bom maut di tangan lewat serangan yang mematikan.***** (Stanislaus Soda Herin, Editor Buku Dr. AC Manullang: Terorisme dan Perang Intelijen- dokumen Mingguan ASAS)

Sabtu, 18 Juli 2009

Teror


Setelah beberapa tahun "aman dan damai", kita kembali kecolongan. Peledakan bom di Jakarta, di dua tempat itu - Hotel JW MArriot dan Ritz Carlton menewaskan sedikitnya 9 korban.
Peledakan di tempat, bulan dan pola yang hampir sama menunjukkan,
teror dan terorisme seperti berlangsung dalam sebuah siklus, mengikuti regularitas, sehingga mampu mereproduksi diri sendiri.

Menurut pandangan Yasraf Amir Piliang, Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung, "Siklus, regularitas, dan reproduksi teror memampukan teroris mengorganisasi ruang (tempat peledakan), waktu (kapan
diledakkan), sehingga ada waktu yang dianggap ”musim panen” terorisme (biasanya September-Oktober) di dalamnya
berbagai peristiwa teror besar berlangsung— the regularity of terror.

Kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasi ruang, waktu, taktik, strategi dan ”teknologi teror” itu sendiri
memperlihatkan bahwa ada seperangkat ”pengetahuan”, metode diseminasi, paradigma dan konstruksi sosial
pengetahuan tertentu yang dikembangkan di dalam terorisme sehingga ia mampu melakukan tindak sosial (peledakan,
penghancuran) secara reguler dan sistematis—the knowledge of terror.

Berbeda dengan bentuk-bentuk tindak sosial dan kekerasan lainnya yang hanya dilihat sebagai sebuah fenomena fisik
semata, tindak kekerasan di dalam teror dapat dilihat sebagai sebuah ’pernyataan’ (statement), yaitu tindak kekerasan
sebagai cara untuk mengomunikasikan pesan (politik) tertentu. Sehingga, teror harus dilihat pula sebagai sebuah bentuk
komunikasi atau wacana, yang pernyataannya menuntut sebuah jawaban, respons atau reaksi dari pihak lain—the
discourse of terror.

Meskipun para teroris sebagai ’pengirim pesan’ (sender) tidak pernah menampakkan dirinya—dan sering kali menjadi
sebuah misteri bahkan mitos—tindak dan ”pernyataan” para teroris (berupa peledakan bom dan bentuk teror lainnya)
adalah nyata dan konkret, yang memerlukan upaya intensif tidak saja membongkar para pelakunya, tetapi juga
menafsirkan pesan-pesan (messages) yang ingin disampaikannya.

Arkeologi teror

Disebabkan teror adalah sebuah wacana (discourse), yang di dalamnya tidak hanya beroperasi berbagai tindakan fisik,
melainkan juga berbagai ”pernyataan” atau ”pesan” tertentu yang menuntut respons tertentu, maka sesungguhnya ada
sebuah ’formasi wacana’ (discourse formation) tertentu yang membangun tindakan terorisme, dengan memanfaatkan
secara maksimal berbagai kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang ada.

Michel Foucault di dalam The Archeology of Knowledge (1989) menjelaskan berbagai bentuk wacana (termasuk wacana
terorisme) sebagai sebuah bentuk ’arkeologi’ (archeology), yaitu istilah khusus untuk menjelaskan bagaimana
pengetahuan yang dikembangkan, relasi sosial yang terbentuk, aktor-aktor dan institusi yang terlibat, serta formasi bahasa
(termasuk bahasa kekerasan) yang digunakan akan sangat menentukan pernyataan dan makna yang beroperasi di dalam
wacana (termasuk wacana terorisme).

”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya pengetahuan (savoir) yang dilibatkan di dalam setiap tindakan teror: teknologi
teror (pengetahuan bahan, teknologi merakit, prosedur meledakkan), sosiologi teror (kondisi sosial, relasi sosial dan
formasi sosial yang ada), psikologi teror (suasana hati dan kondisi psikologis yang mendukung), dan politik teror (relasi
kekuasaan dan struktur politik yang ada). Teror tidak saja sarat kekerasan, tetapi juga sarat pengetahuan.

”Arkeologi teror” menunjukkan intensifnya ”riset” yang dilakukan untuk mendukung sebuah tindakan teror: aspek geografis
tentang di mana akan melakukan aksi teror, aspek sosial tentang siapa korban yang akan menjadi sasaran, observasi
intensif pada lokasi sasaran, pengintaian (surveillance) pada gerak-gerik di dalam lokasi itu, aspek teknologis tentang
besarnya tenaga ledakan dan besarnya efek kehancuran yang dihasilkannya.

”Arkeologi teror” menunjukkan strategi, taktik dan teknik tinggi yang digunakan di dalam sebuah tindakan teror, melalui
kemampuan tinggi menafsirkan kondisi ruang-waktu yang ada untuk menentukan keputusan-keputusan yang diambil:
mengapa meledakkan di JW Marriot dan Ritz Carlton, bukan di tempat lain; mengapa meledakkan pada 17 Juli pagi, bukan waktu yang lain; mengapa melakukan bunuh diri, bukan bom jarak jauh.

”Arkeologi teror” menunjukkan ’politik waktu’ (chronopolitics) yang digunakan di dalam tindakan teror, yaitu politik global
pengorganisasian waktu dan intensitas penyerangan, yang membentuk sebuah siklus dan regularitas teror. Peledakan
bom Bali Oktober 2005 ini yang hampir bersamaan dengan peledakan Oktober 2002 menunjukkan pola regularitas ini,
yang menjelaskan tentang siklus ke depan aktivitas terorisme.

”Arkeologi teror” menunjukkan ’efek wacana’ (effect of discourse) terhadap masyarakat pada umumnya, melalui penafsiran
terhadap ”pernyataan teror”, pesan-pesan (sosial-politik) yang ingin dikomunikasikan, dan respons sosial yang dihasilkan
(ketakutan, trauma, paranoia). Peledakan bom Jakarta 2009 di sekisaran proses akhir Pemilu 2009 di Indonesia telah menimbulkan efek ganda teror, yang memungkinkan adanya relasinya dengan peristiwa itu, di samping relasi-relasi lainnya—the double effect of terror.

Yang Tersisa dari "Debat"


Dalam kolom Catatan Pinggir, Goenawan Mohammad menulis : Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan telaah. Memang, dulu ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyoal dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan saya cepat lelah dengan berujar lisan.

Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.

Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.

Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pendapat dan pendirian.

Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbeda—dan teknik Socrates akan menimbulkan kesadaran itu—mereka akan makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.

Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya lebih sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan redanya rasa gentar.

Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden. Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat mulai—dan orang menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan badminton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, debat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan segala ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita tegang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata, debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita bertepuk.

Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta mempertajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah dari acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelenggarakan pertandingan gladiator.

Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang disebut Milan Kundera sebagai ”imagologi”. Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak terelakkan.

Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para komentator debat—yang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini para komentator hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bahwa mereka dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya dasar yang bisa dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat lebih diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan eclenchus-nya sudah lama dikuburkan.

Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas menonton para calon presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan mungkin juga komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolah-olah serius itu punya manfaat lain, punya peran lain: proses itu membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu lebih menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang komoditas lain yang ditebarkan televisi.

Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.

Rakyat sudah menentukan pilihan. Pemilu telah selesai. Sudah ketahuan siapa yang menang. Dan siapa lagi yang bisa mendebat siapa ??? Kita menunggu 5 tahun lagi ...

JW Marriot dn Ritz Carlton


Berbagai pernyataan dari sejumlah kalangan mengenai pengeboman Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton sangat tendensius dan akan memperkeruh suasana.
Banyak pernyataan sangat provokatif dan tidak menolong untuk membuat suasana jadi lebih sejuk. Seharusnya dengan kondisi saat ini lebih difokuskan bagaimana mengatasi korban dan mencegah kejadian susulan.
Karena itu jangan menjadikan peristiwa tersebut sebagai sebuah komoditas yang dapat memicu kekisruhan bangsa. Jangan tuding menuding. Semua pihak tentu mengutuk aksi terorisme ini.
Semua pihak selayaknya tetap tenang dan waspada, tidak mudah terpancing dengan rumor dan spekulasi yang bisa merusak persatuan nasional. Mari mengambil hikmah – sekali lagi – dari peristiwa ini.***

Jumat, 10 Juli 2009

Terima Hasil Pilpres 2009

Pos Kupang menulis :
TANGGAL 8 Juli, jutaan warga Indonesia di dalam negeri dan di luar negeri yang memiliki hak pilih telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2009-2014.

Pemilihan umum di Indonesia sering disebut pesta demokrasi. Dalam terminologi ilmu politik sepertinya tidak dikenal istilah itu. Mungkin saja istilah ini hanya ada di Indonesia. Namun, dilihat dari konteksnya, bisa saja kita memaknainya sebagai ekspresi dari kegembiraan menyambut pemilihan umum. Pemilihan adalah mekanisme kehidupan politik yang demokratis.

Pesta demokrasi kali ini merupakan yang kedua memilih Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung. Artinya, rakyat benar-benar merayakan kebebasan dengan menggunakan hak sebagai rakyat untuk memilih siapa pemimpin negeri ini dan siapapun yang terpilih secara sah harus dihormati sebagai pilihan bangsa Indonesia. Itulah hakekat dari negara demokrasi.

Dalam pemilihan ini tentu ada pihak yang menang dan yang kalah. Karena itu, tentu ada pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil ini. Dan, pihak yang merasa menang biasanya larut dalam eforia kemenangan.

Pihak-pihak yang merasa kalah cenderung tidak puas dan biasanya mencari titik-titik kelemahan dengan harapan membatalkan kemenangan rivalnya atau kalau memungkinkan membalikan keadaan. Berbagai cara pun bisa dilakukan, baik dengan cara-cara yang elegan, misalnya, melalui jalur hukum dengan mengajukan pembuktiaan ketidakjujuran pihak yang menang atau dengan cara-acara anarkis.

Kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia tentunya tidak menginginkan pilpres tahun 2009 ini menjadi ricuh karena perbuatan oknum-oknum yang tidak puas dengan hasil yang ada. Artinya, semua komponen masyarakat Indonesia harus menerima siapapun yang terpilih yang akan diumumkan oleh KPU nanti.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfudz MD mengajak semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pilpres untuk melaksanakan tugas dengan jujur dan demokratis serta bersikap sportif menghadapi sengketa yang mungkin muncul usai penetapan hasil pilpres pada 8 Agustus 2009. Maksudnya, bila ada sengketa di kemudian hari, maka jalur hukumlah yang bisa dipakai, bukan jalur-jalur main hakim sendiri.

Apalagi masing-masing pihak dalam pesta ini juga sudah mengatakan bahwa siap menerima kekalahan dan juga siap menerima kemenangan. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono, meski sebagai capres dan calon wakil presiden menyatakan legowo menerima apapun hasil pilpres 2009. Dan, pasangan lainnya pun sudah menyatakan siap menerima kekalahan bila pilpres kali ini dilaksanakan secara jujur, adil dan demokratis.

Meskipun pilihan kita berbeda, namun kita harus sadar bahwa kita masih satu bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih terus bergerak maju untuk menjadi bangsa dan negara yang besar. Demikian pula kita di bumi Flobamora yang merupakan bagian dari NKRI harus maju sejalan dengan NKRI. Bila di antara kita punya pilihan politik yang berbeda maka itu adalah hak yang sudah hal yang diberikan oleh negara.

Kerja keras tim sukses pasangan Mega-Pro, SBY-Boediono dan JK-Win di NTT telah tergambar dalam hasil Pilpres kali ini. Dan, kalah atau menang harus diterima sebagai konsekuensi dari sebua peristiwa demokrasi, karena negara ini hanya memerlukan satu orang pemimpin.

Kita warga NTT juga telah memilih presiden, namun kita harus tahu bahwa pekerjaan membangun NTT tidak berhenti di sini. Masih ada jalan panjang yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Propinsi NTT bersama segenap warga Flobamora. Yang kalah jangan larut dalam kesedihan dan yang menang juga tidak boleh terbawa arus eforia kemenangan, karena NTT kini sedang memasuki musim panas.

Kita tahu bahwa saat musim panas, beberapa wilayah di NTT selalu menjadi langganan gagal panen, kekeringan dan kekurangan pangan hingga busung lapar. Marilah kita bersiap-siap mengatasi berbagai ancaman reguler ini. *pk

Apa sih Quick Count

Quick Count secara terjemahan berarti perhitungan cepat. Secara panjang Quick Count berarti proses pencatatan hasil perolehan suara di ribuan TPS yang dipilih secara acak. Quick Count adalah prediksi hasil pemilu berdasarkan fakta bukan berdasarkan opini. Karena itu ia tidak sama dengan jajak pendapat terhadap pemilih yang baru saja menyontreng atau yang biasa disebut exit poll.

Sampel diambil dari ribuan TPS yang dipilih acak di Indonesia kemudian di setor ke lembaga yang mengolah data tersebut. Data tersebut kemudian dapat digunakan untuk perbandingan dengan hasil dari KPU yang jika dihitung manual dapat memakan waktu sampai 2 minggu sedangkan Quick Count hanya memakan waktu beberapa jam saja jika pengiriman data dari tiap TPS lancar. Namun Quick Count juga bisa keliru jika antara peserta satu dengan yang lainnya datanya hanya berselisih sedikit. Biasanya lembaga yang melaksanakan Quick Count sudah menetapkan batas kekeliruan(Marginal Error), untuk menanggulanginya. Diantara beberapa lembaga Indonesia yang sudah sering melaksanakan Quick Count adalah LP3S dan Lembaga Survey Indonesia(LSI).

Quick Count sebenarnya sudah mulai ada di Indonesia pada 1997. Namun fenomena Quick Count di Indonesia mula-mula terjadi saat pemilu 2004. Saat itu Quick Count sedang membangun jati dirinya karena banyak yang belum terlalu percaya dengan hasil dari Quick Count. Setelah itu Quick Count mulai dikenal masyarakat dan sudah mulai diterima masyarakat. Tahun 2009 ini Quick Count digunakan lagi dalam pemilu legislatif dan pilpres 2009. Beberapa stasiun tv berlomba-lomba bekerjasama dengan lembaga yang melaksanakan penghitungan suara melalui Quick Count. Diantaranya Metro Tv dan Tv One.

Dan hasilnya : 26% untuk Mega-Prabowo, 61% untuk SBY-Boediono dan 12% untuk JK-Wiranto. Apa kali ini sekali lagi akan akurat ??? Kita tunggu 23-24 Juli ini saat KPU mengumumnkannya. (paul / koran seveners)

JK Mau Didongkel

Isu Munaslub yang beredar di tubuh Partai Golkar dikabarkan hanya bertujuan mendongkel Jusuf Kalla (JK) mundur dari kursi Ketua Umum partai. Jika kalah dalam pemilihan umum, JK diminta dengan besar hati mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Namun, sebelum isu itu berhembus, JK sudah ingin mengundurkan diri dari posisinya."Sebenarnya pada waktu Golkar kalah menjadi 14 persen itu ada niat dari Pak Jusuf Kalla untuk mengundurkan diri," ungkap Ketua DPP Partai Golkar Muladi kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (25/05). Namun niat itu urung dilaksanakan JK. Menurut Muladi, JK batal mundur dari ketua umum lantaran dirinya dituntut rasa tanggung jawab atas kekalahan partainya, dan demi menjaga soliditas partai.Menurut Muladi, mundurnya JK sebagai Ketua Umum partai tak perlu harus lewat mekanisme Munaslub. JK bisa meletakkan mandatnya sebagai ketua umum partai lewat forum Munas dipercepat. Saat ini Golkar masih berkonsentrasi pada pemilihan presiden. Golkar akan melihat sampai putaran berapa duet Jusuf Kalla-Wiranto yang diusung Golkar dan Hanura ini mampu bertahan. Isu menyeruak, Aburizal Bakrie berada di belakang gerakan mendongkel JK. Apa maksudnya ? Tentu saja agar di bawah kepemimpinan Ical, Golkar bias kembali merapat ke SBY alias merapat ke kekuasaan. Terlalu ….