Rabu, 05 Mei 2010

Kisruh Pemilu Kada di Flotim

Bukan kisruh sih.Mungkin tepatnya kesewenangan... atau keteledoran... atau kebodohan ...? Bisa-bisanya nama besar Partai Golkar, plus keperkasaan 'incumbent' Simon Hayon bisa runtuh, cuma karena sebuah kata : kesepakatan ?
Kata itu -kesepakatan- yang telah menjadi dasar terjungkalnya Paket Simon Hayon-Kus Diaz Alfi dari ajang Flotim Idol alias Pilkada 2010; karena KPUD Flotim meminta bukti keputusan dan bukan kesepakatan.
Apakah kesepakatan itu sebuah keputusan dan apakah keputusan bisa berupa keputusan? Jawaban itu yang sedang dicari, atau tepatnya sedang dicari-cari. Tapi ke mana harus mencari jawaban pasti ? Seribu kali KPU Pusat membuat rekomendasi untuk mengakomodir Paket Simon-Kus, tetap saja keputusan ada di tangan KPUD Flotim. Cuma dua ending yang bisa jadi muara kasus ini : KPUD Flotim tetap kukuh pada keputusan dan Pilkada Flotim tetap jalan; atau KPUD NTT mengambil alih proses Pilkada dengan mengakomodir Paket Mondial.
Boleh-boleh saja. Tapi pertanyaan tadi dijawab dulu.Dan mestinya yang menjawab adalah lembaga peradilan. Bukan karena atas dasar hirarki,jawaban KPU Pusat lebih benar dari KPUD Flotim. Maka jalanuntuk mencari jawaban hakiki adalah melalui jalur hukum. Anehnya Partai Golkar dan teman koalisinya sama sekali hingga hari ini tidak memulai menempuh jalur hukum. Ada apa gerangan ? Ada udang di balik batu? Semoga tidak demikian.

Jumat, 15 Januari 2010

Hilangnya Prinsip Prudent : Kasus Bank Century

Berbagai fakta irasional yang mewarnai kasus Bank Century akhirnya terungkap dalam pertemuan antara Pansus Hak Angket DPR RI dengan mantan pemilik Bank Century Robert Tantular. Pada dasarnya sudah menjadi kewajiban normatif bagi setiap Bank untuk menerapkan prinsip Prudent Banking Principle (prinsip kehati-hatian) dalam kebijakan operasionalnya sebagai bentuk tanggung jawab terhadap para nasabah. Terutama dalam mengelola Dana Pihak Ketiga (DPK).

Penerapan prinsip prudent merupakan hal penting guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan kokoh. Krisis moneter 1997 - 1998 yang telah menjadi momentum terkuaknya berbagai pelanggaran perbankan seharusnya menjadi pembelajaran betapa lemahnya komitmen dalam melaksanakan prinsip prudent di kalangan pelaku bisnis perbankan. Ironisnya, masalah tata kelola perbankan tersebut terulang kembali sampai saat ini.

Munculnya masalah Bank Century mengindikasikan betapa pelaku bisnis perbankan masih mengesampingkan prinsip prudent dengan terus berlomba melakukan ekspansi investasi pada portfolio-portfolio yang rawan ketidakpastian dengan tidak mengindahkan etika dan kaidah bisnis sebagaimana telah ditetapkan dalam UU Perbankan maupun peraturan-peraturan di bawahnya.

Kepala Satuan Kerja Audit Internal Bank Century, Susanna Chuo, dalam audiensi dengan Pansus Bank Century menyatakan merasa telah dibohongi oleh Direktur Treasury Bank Century Dewi Tantular yang merupakan saudara perempuan dari Robert Tantular. Dana sebesar US$ 18 juta dari Boedi Sampoerna awalnya akan dipergunakan untuk menutup kerugian transaksi valas. Namun, tanpa sepengetahuan Susana Chuo dana tersebut "transit" ke Singapura sehingga dapat dikategorikan fraud (penggelapan dana nasabah).

Bukti tidak diterapkannya prinsip prudent oleh manajemen Bank Century seakan semakin lengkap dengan terungkapnya fakta bahwa mantan Pemilik Bank Century, Robert Tantular mengakui tidak pernah lulus Sertifikasi Manajemen Risiko dari Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR).

Selama ini pemerintah telah mencurahkan perhatian pada penyempurnaan peraturan-peraturan hukum di bidang perbankan. Bahkan, peraturan yang berhubungan dengan prudential regulation (peraturan menyangkut kehati-hatian) dirasakan sudah cukup memadai. Namun demikian kelengkapan peraturan tersebut tidaklah cukup untuk dijadikan ukuran bahwa perbankan nasional telah lepas dari segala permasalahan.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan keroposnya sistem perbankan nasional adalah akibat perilaku para pengelola dan pemilik bank yang mengeksploitasi dan mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usahanya. Selain ditunjang faktor lainnya yaitu lemahnya pengawasan.

Pansus Hak Angket Century DPR RI sebagai manifestasi wakil rakyat yang diberikan kewenangan mengungkap tuntas kasus Bank Century seharusnya lebih menitikberatkan investigasinya terhadap penyebab fundamental kasus tersebut. Yakni pelanggaran terhadap prinsip-prinsip prudent dalam pengelolaan Bank.

Namun, semenjak awal mencuatnya, kasus Bank Century seakan lebih didominasi oleh aroma politis pragmatis daripada mencari akar penyelesaian untuk mencegah terulangnya kembali kasus seperti Bank Century. Nampaknya, bagi sebagian besar bangsa ini, upaya mengobati setelah sakit masih dianggap lebih elegan daripada mencegah penyakit yang jika tidak segera ditanggulangi akan menjadi sebuah epidemik akut. (tulisan reza budiman -detik.com)