Senin, 30 Maret 2009

Auguste Comte


Perjalanan Hidup dan Karya Comte serta Pandangannya tentang Ilmu Pemgetahuan
Auguste Comte adalah seseorang yang untuk pertama kali memunculkan istilah "sosiologi" untuk memberi nama pada satu kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Saat ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami masyarakat dan telah berkembang pesat sejalan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal itu, Auguste Comte diakui sebagai "Bapak" dari sosiologi.
Auguste Comte pada dasarnya bukanlah orang akademisi yang hidup di dalam kampus. Perjalanannya di dalam menimba ilmu tersendat-sendat dan putus di tengah jalan. Berkat perkenalannya dengan Saint-Simon, sebagai sekretarisnya, pengetahuan Comte semakin terbuka, bahkan mampu mengkritisi pandangan-pandangan dari Saint-Simon. Pada dasarnya Auguste Comte adalah orang pintar, kritis, dan mampu hidup sederhana tetapi kehidupan sosial ekonominya dianggap kurang berhasil.
Pemikirannya yang dikenang orang secara luas adalah filsafat positivisme, serta memberikan gambaran mengenai metode ilmiah yang menekankan pada pentingnya pengamatan, eksperimen, perbandingan, dan analisis sejarah.

Pemikiran Auguste Comte Tentang Individu, Masyarakat, dan Perubahan Sosial
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif (positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Sosiologi adalah menyelidiki hukum-hukum tindakan dan reaksi terhadap bagian-bagian yang berbeda dalam sistem sosial, yang selalu bergerak berubah secara bertahap. Hal ini merupakan hubungan yang saling menguntungkan (mutual relations) di antara unsur-unsur dalam suatu sistem sosial secara keseluruhan.
Penjelasan mengenai gejala sosial, menurut Comte dapat diperoleh melalui 1) kajian terhadap struktur masyarakat berdasarnya konsep statika sosial, dan 2) kajian perubahan atau perkembangan masyarakat berdasarkan konsep Comte yang disebut dinamika sosial (social dynamics). Comte mendefinisikan statika sosial sebagai kajian terhadap kaidah-kaidah tindakan (action) dan tanggapan terhadap bagian-bagaian yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Ritzer, 1996). Sedangkan dinamika sosial adalah studi yang berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejala-gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda. Berbeda dengan itu, statika sosial hanya mencari kaidah- kaidah gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya.

Max Weber


Max Weber adalah kelahiran Prusia tahun 1864, ia belajar di Universitas Heidelberg di Berlin. Dia memperoleh gelar Profesor penuh dalam bidang ekonomi hukum dan menjadi seorang sosiolog besar yang sangat menguasai seluruh pengetahuan pada zamannya. Aristoteles seorang filsuf sering diklaim sebagai jenius universal terakhir, pemikir terakhir yang telah menyerap dan menguasai seluruh pengetahuan yang ada pada zamannya. Dengan penilaian yang sama, Max Weber layak disebut sebagai jenius universal terakhir dalam ilmu-ilmu sosial yang menguasai dengan benar dan tepat Hukum Ekonomi, Sosiologi Politik, Logika Ilmu Sosial, Ilmu Alam dan Ilmu Sosial, Sosiologi Agama, Teori Kekuasaan, Teori Ilmu Politik, Rasionalisasi dan Kebebasan serta filsafat tentang Politik dan Sejarah Dunia.
Reputasinya yang besar ketika Max Weber mendeklarasikan teori Ketatanegaraan tentang “BIROKRASI” yang kemudian disebut “Teori Weber” yang ditulisnya dalam buku “Weber’s Theory Of Bureaucracy“. Dalam pendalaman kembali, dan dengan membaca lagi buku tersebut penulis mencoba menerjemahkan “Teori Weber” tentang birokrasi yang didalilkannya dalam enam dalil-dalil yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut :
Pertama: Tugas-tugas organisasi dibagi ke berbagai posisi sebagai tugas resmi. Disini tersebut pembagian kerja yang jelas di antara posisi-posisi tersebut, yang memungkinkan spesialisasi tingkat tinggi. Spesialisasi pada gilirannya meningkatkan keahlian staf, baik secara langsung maupun dengan memungkinkan organisasi untuk mempekerjakan karyawan atas dasar kualifikasi teknis mereka.
Kedua: Posisi-posisi atau kantor diorganisasikan kedalam struktur otoritas hirarkis. Dalam kasus umum hierarki ini mengambil bentuk piramida dimana tiap pejabat bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan bawahan serta keputusan dan tindakan dia sendiri kepada atasannya di dalam piramida itu, dan dimana setiap pejabat memiliki otoritas atas para pejabat di bawahnya. Lingkup otoritas supervisor atas bawahan digariskan dengan jelas.
Ketiga: Sistem aturan dan regulasi yang ditetapkan secara formal mengatur keputusan dan tindakan pejabat. Pada prinsipnya kerja dalam organisasi administratif semacam itu melibatkan aplikasi peraturan-peraturan umum untuk kasus-kasus khusus. Peraturan menjamin keseragaman operasi, dan bersama dengan struktur otoritas, memungkinkan koordinasi dari berbagai aktifitas. Peraturan juga menjamin kelangsungan operasi sekalipun ada perubahan-perubahan personel, sehingga meningkatkan stabilitas, yang tidak dimiliki oleh tipe kelompok kolektivitas, seperti gerakan-gerakan sosial.
Keempat: Terdapat staf administrasi khusus yang tugasnya menjaga organisasi dan khususnya jalur-jalur komunikasi di dalamnya. Level terendah dalam aparatur administrasi terdiri atas staf tata usaha yang bertugas menyimpan catatan-catatan tertulis atau file-file organisasi, yang mencakup semua keputusan dan tindakan yang resmi.
Kelima: Para pejabat diharapkan memiliki orientasi impersonal dalam kontak mereka dengan klien dan dengan para pejabat lain. Klien harus diperlakukan sebagai kasus, dimana para pejabat diharapkan mengesampingkan semua pertimbangan personal serta melepaskan ikatan emosional, dan bawahan diperlakukan juga dalam cara impersonal.
Keenam: Pekerjaan yang telah diberikan organisasi merupakan karir bagi pejabat. Secara tipikal seorang pejabat adalah karyawan penuh dan menginginkan karir seumur hidup di kantor.
Pekerjaan didasarkan pada kualifikasi teknis kandidat dan bukan atas dasar politik, keluarga atau koneksi-koneksi lain. Kualifikasi semacam itu harus ditest dengan ujian. Kualifikasi pendidikan akan menciptakan jumlah homogenitas tertentu di antara para pejabat. Para pejabat ditunjuk untuk menduduki posisi-posisi bukan dipilih, sehingga bergantung pada atasan dalam organisasi dan bukan pada konstituen.
Kemajuan karir adalah sesuai dengan senioritas atau prestasi, atau keduanya.
Dari dalil-dalil tersebut Weber menyajikan analis fungsional implisit tentang saling ketergantungan antara karakteristik-karakteristik birokrasi, dengan administrasi yang rasional dan efisien sebagai kriteria fungsi. Tetapi pengawasan yang ketat terhadap semua keputusan tidaklah efisien dan menciptakan ketegangan.
Singkatnya masalah-masalah yang diciptakan oleh satu kondisi dalam organisasi merangsang perkembangan kondisi lain untuk memenuhi masalah-masalah tersebut. Sejumlah proses yang saling tergantung dari jenis ini melahirkan konstelasi ciri-ciri yang merupakan karakteristik birokrasi tipikal, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Weber. Dia berpendapat bahwa ciri-ciri organisasi administratif, dan khususnya kombinasinya adalah “mampu mencapai derajat efisiensi yang sangat tinggi ”.
Apa itu birokrasi? Istilah itu telah digunakan secara popular dengan banyak konotasi yang ambigu dan menyesatkan. Ada pandangan bahwa birokrasi itu tidak baik karena menghambat pelayanan pada publik, dengan mengatur banyak sistem, banyak prosedur dan banyak peraturan, membentuk badan-badan pengkaji, sehingga proses penyalahgunaan akan bertumbuh dan berkembang seperti cendawan di musim hujan. Sebaliknya ada yang mengatakan bahwa birokrasi itu baik dan perlu, karena menegakan ketentuan yang tidak boleh dilanggar.
Nah, suatu aktivitas yang memerlukan koordinasi ketat, atas tindakan-tindakan sejumlah besar orang dan yang memerlukan utilisasi ketrampilan khusus kemungkinan besar akan melahirkan “organisasi birokrasi” suatu “Alasan kuat bagi kemajuan organisasi birokratis” tulis Weber; Dan itu selalu berupa keunggulan teknisnya atas bentuk organisasi lain manapun mekanisme yang sepenuhnya birokratis dibandingkan dengan organisasi lain persis seperti mesin dibandingkan dengan cara produksi bukan mesin.
Weber sangat sering dituduh terlalu mengunggulkan rasionalitas dan efisiensi birokrasi serta mengabaikan efek penyumbatan dari “pitah merah” konservatisme pejabat, dan operasi. Proses-proses seperti “Hukum Parkinson” yang bekerja secara luas sehingga menghabiskan waktu yang ada untuk penyelesaiannya.
Makanya Weber mampu “memprotes keras” kekosongan budaya modern dan overorganisasi yang mengekang dari masyarakat modern, seperti yang dilakukan para eksistensialis sekarang ini dan kritikus-kritikus romantik. Mengenai mereka yang dalam jargon kritik sosial saat ini “manusia organisasi” Weber mengamati :
“Pendekatan manusiawi dengan suatu pertanyaan besar adalah bukan bagaimana kita dapat mempromosikan dan mempereratnya karir seseorang, tetapi kita melihat manusia bukan sebagai mesin tetapi bisa mempertahankan sebagai manusia yang bebas dari keterbelahan jiwa ini, dari cara hidup birokratis yang sangat mendominasi ini.
Dari kutipan di atas ternyata Weber sering tidak sabar dengan perlawanan romantik dan kuno terhadap penyebaran doktrin birokratisasi yang menekankan suatu aktivitas yang memerlukan koordinasi ketat atas tindakan sejumlah besar orang yang memerlukan utilisasi ketrampilan khusus kemungkinan besar akan melahirkan organisasi birokratis “Alasan kuat bagi kemajuan organisasi birokratis” tulis Weber “selalu berupa keunggulan teknisnya atas bentuk organisasi lain manapun seperti mesin dibandingkan dengan cara produksi bukan mesin. Benar Weber cenderung menganggap bahwa birokratisasi sebagai kecenderungan sejarah yang tidak bisa di balik; sebagaimana dalam kasus yang berkait dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan khusus, dia sering tidak sabar dengan perlawanan romantik dan kuno terhadap penyebarannya. Namun dia muak dan takut terhadap banyak konsekuensi birokratisasi, sebagaimana dalam kutipan di atas “keterbelahan jiwa” akibat cara hidup birokratis. Lalu di dalam petualangan keintelektualannya dia menyatakan satu manifesto tentang “otoritas birokrasi” adalah: “kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain sekalipun ada perlawanan” Otoritas ini Weber menyebutnya yakni “kekuasaan untuk memerintah dan tugas untuk patuh”. Semoga! Tulisan ini adalah bersifat ilmiah analistis

Karl Marx


Karl Marx lahir di Trier, distrik Moselle, Prussian Rhineland, Jerman pada tanggal 15 Mei 1818, dikenal sebagai pelopor ideologi sosialis. Marx tumbuh di tengah pergolakan politik yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis para Borjuis yang menentang kekuasaan aristokrasi feodal dan membawa perubahan hubungan sosial. Meskipun ia memperjuangkan kelas orang-orang tertindas sebagai referensi empiris dalam mengembangkan teori filsafatnya, namun ia lebih dikenal sebagai peletak dasar ideologi komunis. Bersama dengan sahabat karibnya, Friederich Engels, tahun 1847 mereka menerbitkan buku Communist Manifesto, buku yang menjadi bacaan dunia dan menjadi referensi utama lahirnya negara-negara berideologi komunis seperti Uni Sovyet dibawah pimpinan Lenin dan China yang dipimpin oleh Mao Tse-Tung. Marx meninggal di London pada 13 Maret 1883, sebelum ia menyelesaikan dua jilid terkhir dari bukunya yang sangat populer, Das Kapital yang diterbitkan pada tahun 1867. Kedua jilid lanjutan yang belum rampung tersebut diselesaikan oleh sahabatnya Friederich Engels yang dirujuknya dari catatan-catatan dan naskah peninggalan Marx.
Ironi Membicarakan Marx
Membicarakan Marx dalam konteks ke-Indonesiaan sesungguhnya masih menyisakan ironi yang sampai sekarang berlum terselesaikan sejak Orde Baru menancapkan kekuasaanya. Pemberangusan ideologi Marx oleh pemerintah, selalu dikaitkan dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pernah mencoba melakukan kudeta. Meskipun banyak sejarawan yang menilai pelarangan tersebut lebih bersifat politis, PKI dijadikan tumbal oleh kudeta Orde Baru terhadap Orde Lama, di bawah kendali Soeharto. Bahkan, Mansour Faqih menilainya sebagai sebuah pelanggaran HAM. Pelarangan terhadap suatu teori, paham, atau suatu pandangan itu sendiri juga menyulitkan bagi mereka yang memahami hak asasi manusia karena bagi mereka, pikiran dan keyakinan adalah hak asasi anugerah Tuhan yang tak boleh dipaksakan maupun dilarang. Apalagi dalam era kepesatan perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, pelarangan suatu pikiran atau paham hanyalah menjadi lelucon belaka, karena teknologi membuat siapa saja yang dapat mengakses teknologi tersebut diuntungkan, karena dengan mudah dapat dapat mengakses apa saja, termasuk ajaran dan teori Karl Marx dengan mudah dan cepat.
Pelarangan Marx semakin menunjukkan kelemahan pemerintah dalam membuka ruang dialektika dan diskursus sebagai sebuah proses ilmiah. Di satu sisi, pelarangan hanya bersifat simbolik yang membungkus dominasi jargon politik , di sisi lain, adalah sebuah tindakan diskriminatif yang justru bertentangan dengan prinsip demokrasi sebagai ideologi negara.
Proses dialektika sebagai sebuah tradisi ilmiah seharusnya dibuka selebar-lebarnya, hal ini demi menjaga vitalitas para intelektual untuk terus menerus melakukan auto-kritik dan pencerahan terhadap masyarakat dan dinamikanya. Sedangkan bagi Mansour Faqih dalam Kusumandaru (2004:xvi), “Analisis pemikiran para Marxis yang selain memberi sumbangan terhadap perdebatan epistemologi dan filsafat pengetahuan juga mewarnai pada hampir setiap cabang ilmu pengetahuan maupun perubahan sosial”.
Kerja, Alienasi dan Determinisme Ekonomi
Pemikiran Marx tentang ide-ide sosialis, perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan karena ia lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim. Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai makan sehari. Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial.
Konsep Marx tentang lahirnya masyarakat tanpa kelas dinilai utopis. Hal ini terutama dihadapkan pada dimensi kodrati manusia yang lahir dengan kekhasan dan keberagaman dalam segala hal, termasuk dalam tinjauan kelas-kelas sosial. Namun, preperensi tersebut justru menjadi inspirasi bagi manusia untuk memaknai hidupnya sebagai sebuah perjuangan, perjuangan untuk memperbaiki nasib, untuk hidup yang lebih baik. Permasalahan tidak berhenti pada adanya kelas sosial ansich, akan tetapi ide Marx yang humanis ingin menggugah kesadaran manusia tentang kehidupannya, tidak menyerah kepada nasib dan dogma agama sekalipun.
Mengembalikan kesadaran manusia untuk memaknai hidupnya adalah inti dari pemikiran Marx. Sistem kapitalisme telah membawa alam kesadaran para buruh pada kondisi keterasingan (alienasi). Dalam bukunya Mengapa Masih Relevan Membaca Marx Hari Ini?, Wolff menulis:
… Umumnya alienasi mengacu kepada perasaan yang dapat berupa dislokasi atau disorientasi ekstrem. Konsep yang subyektivistik ini adalah bagian dari konsep alienasi Marx, namun hanya bagian kecil. Yang lebih fundamental, alienasi adalah kenyataan obyektif tentang hidup kita sendiri, dimana kita dapat saja teralienasikan meski tanpa pernah menyadarinya. (2004:22)
Menurut Marx ada empat aspek utama yang membuat kita teralienasikan dari kerja kita di bawah kapitalisme, yakni: alienasi dari produk, dari aktivitas produksi, dari esensi-spesies kita, dan dari orang lain. Pertama, alienasi dari produk terlihat dari pola pekerja yang memproduksi sebuah objek namun tidak berkuasa untuk menggunakan atau memiliki obyek tersebut. Kedua, alienasi dari aktivitas produksi. Menurut Marx, pembagian kerja kapitalis yang secara tipikal telah membawa pekerja pada degradasi keahlian (deskilling), setiap individu direduksi hanya pada satu tugas yang repetitif dan tidak perlu memakai otak, mereka tidak beda dengan mesin, diprogram untuk membuat gerakan yang sama berulang-ulang. Ketiga, alienasi dari esensi-spesies. Marx berpendapat bahwa di bawah kapitalisme, mayoritas perkerja tidak dapat menikmati ciri-ciri khas manusiawinya. Mereka berproduksi setengah hari mempertaruhkan seluruh kemampuan didorong untuk dan dari bekerja. Bagi Marx para pekerja baru merasa menjadi manusia ketika mereka tidak bekerja. Keempat, bekerja dengan jam kerja yang panjang, para buruh sangat susah memperoleh waktu untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan terkadang waktu untuk keluarga pun tereduksi oleh pekerjaan. Bahkan menurut Marx, kita hanya menganggap diri kita hanyalah orang yang pergi bekerja untuk mendapatkan uang, kemudian pergi ke toko dan menghabiskannya, pada titik ekstrem mengarahkan kita menjadi masyarakat konsumtif.
Dialektika pemikiran Marx dalam menggugat kapitalisme, tidak hanya berhenti pada konsep kerja dan alienasi, dua postulat utama yakni determinisme ekonomi dan mekanisme perubahan dicatat oleh Garna (1992:43-44):
Marx mengemukakan dua postulat yang utama, pertama, determinisme ekonomi, yang menyatakan faktor ekonomi adalah penentu fundamental bagi struktur dan perubahan masyarakat. Bentuk-bentuk produksi yang bersifat teknologis menentukan organisasi sosial suatu produksi, yaitu relasi-relasi yang mengakibatkan pekerja memproduksikan hasil dengan lebih efektif … kedua, menyentuh mekanisme perubahan (change), yang menurut pandangan Marx, perubahan sosial itu harus dipahami dalam arti tiga fase atau tahap yang selalu tampak. Tiga tahapan tersebut merupakan skema dialektik, yang idenya dipinjam dari seorang filsuf Jerman, George Hegel (1770-1831). (1) tesis (affirmation); (2) antitesis (negation), dan (3) sintesis (reconciliation of oppsites).
Ketimpangan hubungan ekonomi (determinisme ekonomi) bagi Marx telah menjadi faktor penting dalam menata sturktur dan perubahan masyarakat. Tambahan mengenai mekanisme perubahan meliputi tiga fase (tesis, antitesis, dan sintesis) yang ia kutip dari Hegel, semakin menguatkan gagasannya mewujudkan masyarakat tanpa kelas, sebagai sebuah sintesis antara sistem feodal dan kapitalisme.
Marx dan Semangat Revolusi; Perjuangan Dimulai dari Kesadaran
Revolusi adalah sebuah kosakata yang tidak pernah luput untuk disandingkan dengan semua diskursus yang membicarakan Marx. Revolusi yang dimungkinkan untuk terus mengalami penyempurnaan sesuai dengan zamannya. Meskipun Marx tidak pernah memberikan satu defenisi yang ringkas mengenai konsepsinya tentang revolusi. Marx hanya menunjukkan esensi di balik revolusi itu: perubahan dalam pola produksi umat manusia, yang pada gilirannya membawa perubahan pada pola tindak, dan tatanan masyarakat secara keseluruhan .
Visi Marx untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas merupakan gambaran praksis dari ide dasar materialisme sosialisnya. Sistem feodal yang tergantikan oleh sistem kapitalis telah membawa perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial. Marx yakin suatu saat, kapitalisme akan menemui kehancuran dan melahirkan sintesis , komunis sebagai ideologi kekuatan baru, masyarakat tanpa kelas.
Menelusuri jejak-jekak pemikiran Marx seringkali kita terjebak pada ruang-ruang utopis, bahwa ide dasar semua filsafat senantiasa diarahkan untuk mencapai sesuatu yang ideal, sementara sesuatu yang ideal adalah utopis. Negara komunis Uni Soviet yang diakui oleh Lenin diadopsi dari pemikiran Marx, adalah contoh kongkrit terjadinya disoriented dari ide dasar masyarakat tanpa kelas di bawah kuasa dikatotor ploretarian. Diktator ploretarian menurut Marx adalah tindakan-tindakan massa yang telah memegang kendali (aparatur) negara untuk mengantisipasi tindakan reaksi yang timbul dari kaum kapitalis. Walhasil, runtuhnya tembok Berlin tahun 1990 menjadi pemicu bubarnya negara komunis terbesar Uni Soviet, menjadi bukti pengaburan dan pembelokan ide negara tanpa kelas (atau lenyapnya negara) oleh Marx, bukan kerapuhan dan ketidakmampuan sebuah ide untuk merealitas, -atau sisi kemampuan seorang pemimpin dalam mengorganisir ide maupun kelompoknya.
Kemampuan konsep pemikiran Marx lahir menjadi sebuah ideologi yang mendunia membawanya menjadi salah salah seorang pemikir yang disegani dan dibaca sampai sekarang. Namun di balik gagasan besar tersebut, yang paling penting adalah inspirasi revolusi. Bahwa perjuangan dimulai dari kesadaran lebih dari sekadar memahami idenya. Wolff (2004:45) mencatat kutipan inspirasi penggerak revolusi yang tertera di nisan Marx:
Pahatan terkenal di nisan Marx di wilayah pekuburan Highgate menunjukkan inti pandangannya, dikutip dari ‘Thesis on Feuerbach’, berbunyi: ‘Filsuf hanya menginterpretasikan dunia dengan berbagai cara, namun yang diperlukan sesungguhnya adalah mengubah dunia itu sendiri’. (M.158)
Kemampuan gagasan Marx untuk berdialektika dengan zaman, menjadikannya pemikir yang tidak pernah sepi dari kritikan dan pujian atasnya. Namun, apapun tanggapan dunia terhadapnya, kehadirannya telah menggerakkan kesadaran kelompok buruh, budak dan aktivis sosialis untuk mengorganisir diri dan berjuang mewujudkan perubahan. “Lebih jauh, Marx berpendapat bahwa para pekerja tidak akan pernah menikmati emansipasi kecuali menjadi bagian dari perjuangan yang berusaha mewujudkan emansipasi tersebut.“(Wolff,2004:45). Masih eksisnya negara komunis Cina, Korea Utara, dan partai-partai buruh sosialis, menjadi wujud kontekstualitas ide Marx.

Konteks Sosial Teori Sosiologi

Teori dan Kehidupan Sehari-hari
Sadar atau tidak, semua orang berteori. Berteori dengan jalan memberikan interpretasi itu sangat penting, karena diperlukan untuk menjelaskan peristiwa.
Teori muncul karena adanya suatu kebutuhan manusia untuk memberikan penjelasan akan berbagai kenyataan yang ada.
Caranya dengan jalan menghubungkan situasi sekarang dengan pengalaman di masa lampau atau keputusan-keputusan yang diambil sebelumnya, pengaruh sosial atau tekanan dari orang lain, krisis yang umumnya sedang dihadapi pada waktu itu, atau hambatan dan kesempatan yang tersedia dalam lingkungan itu.
Praktik berteori dalam kehidupan sehari-hari contohnya ketika kita merencanakan atau meramal masa depan. Kegiatan ini menuntut kita untuk merunut fakta yang ada, menelusuri apa di balik fakta dan itu berarti kita telah berteori.
Tidak berarti bahwa ramalan kita 100% tepat.
Tapi paling tidak kita dapat membuat dugaan-dugaan dan karenanya kita bisa menyesuaikan perilaku kita sekarang untuk menyesuaikan dengan harapan-harapan kita di masa depan.
Contoh konkritnya: dalam memilih karir, mendidik anak, membuat strategi pemasaran, membuat kebijakan politis, dan sebagainya.
Semuanya memerlukan teori-teori untuk mendukung kita mengambil keputusan yang paling baik.
Walau tidak seutuhnya, diakui bahwa sebagian besar tindakan manusia mencerminkan suatu perpektif teoretis.

Teori Implisit dan Teori Eksplisit
Teori yang dipergunakan orang dalam kehidupan sehari-hari biasanya bersifat implisit, dan tidak eksplisit, artinya orang secara tidak sadar akan asumsi-asumsi teoritis yang menjadi penjelasan atau ramalannya, atau akan struktur logis dari kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi banyak orang, teorinya mungkin tetap bersifat implisit, tetapi ada orang lain yang menjadi lebih sadar, di mana dalam hal-hal tertentu dari teori-teori mereka yang implisit itu menjadi eksplisit dan tunduk pada analisa obyektif atau analisa kritis.

Tantangan terhadap Teori Implisit dan Munculnya Teori Eksplisit
Teori-teori secara implisit itu akan tetap saja demikian, sepanjang orang tidak sadar akan perpektif-perspektif lainnya dan selama kebiasaan atau kepercayaan tradisional itu tidak mendapat tantangan.
Tantangan itu dapat muncul dari beberapa sumber di antaranya :
(1) Komunikasi antar masyarakat atau antarbudaya
(2) Tingkat penyimpangan yang tinggi, misalnya disebabkan adanya kelompok-kelompok anti status quo, yang dapat merangsang upaya sadar diri dari suatu kelompok masyarakat.

Dalam suatu tatanan masyarakat yang cenderung sangat stabil, yakni yang terisolasi dari masyarakat lainnya, kebanyakan orang tidak memikirkan asumsi-asumsi dasar dalam pandangan hidupnya atau implikasi teoretis dalam tata cara atau kebiasaan kesehariannya.
Sedangkan pada masyarakat dengan tingkat perubahan sosial yang pesat, ada banyak orang yang merefleksikan kebiasaan dan kepercayaan yang ada dalam lingkungan sosialnya secara langsung dengan suatu sikap intelektual yang netral dan obyektif.
Namun dapat saja terjadi dalam komunitas yang relatif stabil ada orang yang mampu berfikir dinamis, dan dalam komunitas yang dinamis ada pula orang-orang cenderung statis.
Perubahan sosial yang pesat biasanya disertai munculnya ketegangan dan perpecahan dalam struktur sosial dan kesenjangan budaya serta diskontinuitas. Semua ini dialami sebagai masalah-masalah sosial di mana tradisi yang sudah mapan tidak mampu menjawabnya. Maka orang mulai mempertanyakan asumsi-asumsi tradisonal lalu mengubah, menyesuaikan atau menciptakan asumsi-asumsi baru.
Pengalaman akan adanya marginalitas sosial dapat juga mendorong terjadinya refleksi yang sadar akan kenyataan sosial.
Marginalitas berarti bahwa seseorang itu berada hampir di luar batas suatu kelompok atau suatu satuan budaya; dia terlibat di dalamnya tapi tidak secara penuh; dia mampu berinteraksi dengan mereka yang berada di dalam kelompok itu, tetapi sebagai orang luar, yang tidak menerima kenyataan sosial itu secara penuh, secara implisit dia diterima oleh orang ‘dalam’ yang beranggota penuh.

Teori Implisit versus Teori Eksplisit dan Konstruksi Sosial Mengenai Kenyataan
Dalam proses menciptakan atau mempertahankan kenyataan sosial, kita semua berteori – sadar atau tidak. Kita mampu menarik benang merah dari pengalaman langsung atau fakta dari situasi kita sendiri dengan maksud untuk menginterpretasi, menjelaskan, meramal dan merencanakan kehidupan kita sehari-hari. Namun kita tidak selalu sadar akan asumsi-asumsi implisit yang menjadi dasar kesimpulan ini, dan kita tidak selalu menghargai bahwa asumsi-asumsi ini diciptakan oleh manusia dalam berkehidupan sosial.
Kesadaran kita akan asumsi-asumsi teoretis yang kita miliki dan akan sifatnya yang tidak sempurna, yang diciptakan dalam kehidupan sosial, mungkin akan ditimbulkan oleh pengalaman apa saja di mana kebiasaan-kebiasaan yang mapan menjadi tidak sesuai atau tidak relevan dan harus diubah, atau di mana kita dipaksa untuk membenarkan atau mempertahankan asumsi-asumsi ini, atau membuat pilihan-pilihan yang tidak biasa di antara alternatif-alternatif.
Hal tersebut, bila digabungkan dengan perspektif ilmiah, akan merangsang proses berteori secara eksplisit atau secara sadar. Sesungguhnya bila kita berkomitmen terhadap metode-metode akan mampu menjelaskan berbagai gejala sosial dengan menggunakan perspektif ilmiah.

Konteks Sejarah Lahirnya Perspektif Sosiologi
1. Pemikiran Sosial Sebelum Perkembangan Sosiologi
Pada tahun 1400an M, atau 400 tahun sebelum August Comte, Ibn Khaldun dari Arab merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden yang ‘keras’ dan masyarakat ‘halus’ bertipe menetap dalam hubungan yang kontras. Usaha Khaldun untuk menjelaskan proses sejarah timbul tenggelamnya peradaban dibuat dengan menggunakan perbedaan yang kontras ini. Penghalusan budaya yang terdapat dalam peradaban-peradaban yang sudah berkembang jauh merupakan produk masyarakat yang sudah menetap; tetapi mekarnya peradaban dibarengi oleh suatu kerinduan yang semakin bertambah akan kemewahan dan kenikmatan, oleh suatu sistim otoritas politik yang lebih terpusat, dan oleh berkurangnya solidaritas atau esprit de corps secara bertahap sebagai akibatnya. Jadi peradaban-peradaban ditakdirkan berkembang untuk kemudian ditaklukan oleh bangsa nomaden yang kemudian meniru gaya hidup yang halus dan seterusnya menjadi sebuah siklus hidup masyarakat di gurun.
Sikap ilmiah Khaldun dalam menganalisa dan menjelaskan gejala sosial di jamannya sudah mendekati bentuk penelitian ilmiah modern dan isinya secara substantif dapat disejajarkan dengan teori sosial modern.
Di Eropa sendiri, sejarah timbulnyapemikiran sosial dapat ditelusuri ke Yunani kuno. Diantaranya terdapat filsuf terkenal seperti Plato dan Aristoteles. Pemikiran spekulatif mereka mengenai kodrat manusia serta organisasinegara sangat erat jalinannya dengan keprihatinan mereka untukmeningkatkan hidupyang ‘baik’.

2. Perubahan Sosial yang Pesat dan Munculnya Masyarakat Modern.
Perubahan sosial yang pesat cenderung meningkatkan orang dalam memikirkan secara matang-sadar tentang bentuk-bentuk sosial.
Di Prancis, Revolusi Prancis mengakibatkan perubahan tidak saja dalam struktur politik, tapi juga berpengaruh besar pada perubahan di bidang ekonomi dan stratifikasi sosial. Dampak Revolusi Prancis mendorong Comte berupaya menjelaskan seluruh peristiwa menurut model teoretisnya mengenai perubahan sosial dan kemajuan dan membangun gagasan untuk mengorganisasi masyarakat kembali menurut prinsip-prinsip ilmiah yang diyakininya.
Di Inggris, Revolusi Industri mendorong ahli teori sosial seperti Herbert Spencer dan Karl Marx yang berupaya menjelaskan mengenai tipe keteraturan sosial baru yang muncul sebagai konsekuensi pertumbuhan dunia industri. Revolusi Industri tersebut telah merusak hubungan-hubungan sosial yang tradisional dan menciptakan perpecahan, sekaligus membentuk basis potensial untuk suatu jenis keteraturan sosial yang baru.
Hal yang sama terjadi di Jerman. Industrialisasi dan pergolakan politik telah memunculkan Max Weber. Dalam perubahan sosial itu, suatu segi yang penting menarik perhatian Weber adalah pengaruh yang semakin nyata dari bentuk-bentuk organisasi sosial hirarkis yang bersifat rasional.

Perubahan-perubahan sosial yang pokok itu terjadi bersamaan dengan perubahan yang mendasar dalam pandangan hidup yang dominan yang dipergunakan sebagai dasar untuk menginterpretasi dan menjelaskan lingkungannya. Kepercayaan agama tradisional menurun dengan pesat dibandingkan kemajuan dalam bidang mentalitas ilmiah yang tidak terelakkan.
Namun, meski telah terjadi kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, pengagungan terhadap kemampuan akal budi manusia yang meluap-luap dan optimistic di abad ke-18 menjadi sangat berkurang selama abad ke-19. Yakni ditandai oleh kesadaran yang semakin bertambah akan keterbatasan akal budi dan akan sejumlah dasar-dasar nonrasional dari motivasi manusia dan institusi-institusi sosial.
Pada pertengahan abad ke-19, Comte melihat bahwa perlu ada ‘agama baru’ yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. untuk membangun suatu keteraturan sosial yang baru. Hal ini disebabkan, pemahaman intelektual tak mampu menghasilkan perasaan altruistik seperti pada agama-agama tradisional, sedangkan agama sendiri pada waktu itu sedang mengalami kemunduran akibat pertumbuhan mentalitas yang baru. Karenanya Comte meluncurkan ilmu baru yakni Sosiologi, dengan merilis buku The Course of Positive Philosophy, terbit antara 1830-1842.

3. Pertumbuhan Mentalitas Ilmiah
Pada awal abad ke-19, metode ilmiah sudah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan fisik. Terjadi konflik antara perspektif ilmiah dan perspektif agama, di antaranya mengakibatkan ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo diasingkan oleh gereja. Konflik semakin memanas dengan publikasi Darwin di tahun 1859 tentang teori evolusi biologi.
Pertumbuhan sikap ilmiah itu juga telah mendorong berkembangnya teknologi, yang kemudian melahirkan Revolusi Industri. Revolusi Industri kemudian membawa dampak kepada perubahan sosial dengan terjadinya perpecahan sosial yang serius dan munculnya kekuatan-kekuatan sosial baru.
Manusia lalu berfikir untuk bisa memecahkan persoalan-persoalan sosial dengan menggunakan metode-metode ilmu pengetahuan. Dalam ambivalensi antara runtuhnya tradisi dan munculnya masyarakat industri - yang nampaknya tidak memiliki dasar moral yang kuat dalam komunitas yang stabil, tapi mereka yakin bahwa metode ilmu pengetahuan dan wawasan yang berasal dari analisa ilmiah adalah penting untuk mengerti dan mempengaruhi arah perubahan sosial di masa mendatang.
Bertumbuhnya mentalitas ilmiah meliputi konsep baru mengenai hakikat manusia danmasyarakat. Tetapi arti dari ‘ilmu tentang masyarakat’ dapat berbeda-beda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Contohnya bila kita bandingkan antara para ahli teori sosial Prancis dengan Jerman.
Para ahli dari Prancis cenderung melihat manusia dan masyarakat sebagai bagian dari alam, dengan perilaku manusia yang tunduk pada hukum-hukum alam dengan metodologi ilmiah yang sama seperti pada ilmu-ilmu fisik.
Sedangkan ahli dari Jerman melihat persoalan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan namun berbeda dari ilmu-ilmu fisik. Dalam ide Weber tentang hakikat ilmu sosial, itu mencakup arti dan kemauan manusia, maka diperlukan teknik dan metode-metode pemahaman yang berbeda. Ilmu-ilmu alam berhubungan dengan hukum-hukum keharusan dan bersifat deterministik, tetapi ilmu-ilmu sosial budaya berhubungan dengan kebebasan dan kreativitas.
Dengan bertambahnya pengetahuan tentang masyarakat lain, terutama yang disebut dengan masyarakat primitif, memungkinkan orang untuk mempersoalkan danmengadakan spekulasi yang ekstensif mengenai sumber-sumber dan batas-batas variasi budaya, dan tentang bagaimana masyarakat berkembang dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Para ahli boleh saja berbeda dalam merenungkan masa depan secara pesimistis atau optimistis, namun mereka telah mengembangkan model-model perubahan sosial yang memperlihatkan bagaimana yang sekarang ini sudah munculdi masa lampau, dan dari pola-pola serta kecenderungan yang ada sekarang, diproyeksikanlah bentuk masyarakat di masa yang akan datang.

Perubahan Sosial Masa Kini dan Teori Sosiologi
Kita hidup dalam satu masyarakat dinamis yang mengalami perubahan pesat.
Perubahan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak pada perubahan sosial.
Tentang krisis minyak dan energi, William R. Burch Jr, mengemukakan argumentasinya bahwa kelimpahan materi yang tidak pernah terjadi sebelumnya sebagai hasil dari kemajuan teknologi benar-benar merupakan suatu penyimpangan dari pola umum yang terdapat dalam sejarah; dia menyarankan supaya kita sekarang ini mencoba mengakhiri masa abnormal ini. Ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan kita dengan lingkungan fisik terungkap secara dramatis dengan mengosongnya sumber-sumber energi murah.
Perubahan sosial lain yang terjadi di masa kini seperti hilangnya kepercayaan terhadap institusi-institusi sosial yang sudah mapan (terutama institusi politik dan ekonomi), mempertanyakan otoritas, menurunnya etika kerja tradisional, dan penolakan terhadap ‘teknokrasi’ yang semakin meluas, dan banyak hal-hal lain dalam organisasi birokratis.
Teori sosiologi tidak serta merta mampu menginterpretasi kenyataan sosial atau meramal masa depan ataupun memberikan solusi terhadap berbagai gejala itu. Tetapi kerangka konseptual dan kerangka intelektual dari perspektif sosiologi serta gaya analisa yang diberikan teori-teori tertentu dapat membantu kita untuk memahami dunia sosial untuk menunjang obyektivitas, kepekaan dan efektivitas dalam berinteraksi dengan orang lain.


Akar-akar Sejarah Teori Sosiologi
Sumber-sumber sejarah yang penting dalam teori Sosiologi :
1. Politik Ekonomi Laissez-Faire ala Skotlandia-Inggris dan Utilitarianisme Inggris
Teori-teori ini sangat bersifat individualistik dan memandang bahwa manusia itu pada dasarnya bersifat rasional, selalu menghitung dan mengadakan pilihan yang dapat memperbesar kesenangan pribadi atau keuntungan pribadi dan mengurangi penderitaan atau menekan biaya. Penerapan paling nyata dalampasar ekonomi, di mana seorang ‘manusia ekonomi’ mementingkan perhitungan dalam menentukan pilihannya.
Untuk menjelaskan masyarakat atau struktur sosial, ‘kontrak sosial’ dapat merupakan suatu bentuk asumsi yang terdapat di dalamnya. Asumsinya, manusia yang bertindak atas dasar kepentingan diri secara rasional, secara suka rela masuk ke dalam suatu persetujuan secara sadar di mana mereka membatasi otonomi individunya sendiri, menciptakan suatu pengaturan dan bersepakat mematuhi peraturan yang dikembangkan untuk mengontrol kompetisi yang tidak terkendalikan dan menjamin sekurang-kurangnya kerja sama.

2. Positivisme Prancis Pasca Revolusi
Tokohnya : St. Simon, Comte dan Durkheim.
Kata ‘positivisme’ menunjuk pada pendekatan terhadap pengetahuan empiris.
Menurut pendekatan ini, semua yang kita tahu akhirnya berasal dari pengalaman inderawi atau data empiris. Hal ini memperlihatkan suatu perubahan dari pandangan tradisional yang menerima wahyu atau tradisi sebagai suatu sumber pengetahuan yang lebih mendasar daripada data yang diperoleh oleh indera manusia.
Tetapi menurut kaum positivis, kepercayaan menurut agama hanyalah tahyul yang suatu saat akan tergantikan oleh ilmu pengetahuan.
Pertumbuhan sosiologi di Prancis mencerminkan keyakinan bahwa masyarakat atau kehidupan sosial merupakan bagian dari alam dan dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang dapat ditemukan dengan menerapkan teknik ilmiah yang sama seperti pada bidang ilmu lainnya.
Hukum-hukum itu dapat dipergunakan sebagai dasar untuk perubahan sosial dan reorganisasi masyarakat. Keteraturan sosial dan kemajuan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah,maka perdamaian dan pencerahan akhirnya akan menggantikan perang, konflik, tahyul dan kemajuan.
Pemerintah harus berperan utama, tapi harus bertindak sesuai dengan hukum-hukum alam yang ditemukan oleh ahli sosiologi.

3. Historisisme Jerman
Tokohnya : Hegel, Karl Marx dan Max Weber.
Berlawanan dengan positivisme Prancis, tradisi historis Jerman menekankan perbedaan antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Hukum alam menentukan peristiwa-peristiwa dalam dunia fisik,tetapi dunia manusia adalah dunia kebebasan dan pilihan-pilihan yang bersifat sukarela, tidak deterministic seperti pada ilmu-ilmu fisik.
Untuk mengerti atau menjelaskan perilaku manusia,dituntut lebih dari sekedar menggambarkan pernyataan-pernyataan yang ada di kulit luar. Sebaliknya, perlu mendalami artinya yang berarti sadar akan orientasi subyektif dan maksud-maksud individu yang terlibat di dalamnya. Untukmengerti dinamika sustu masyarakat, perlu bagi seorang penganalisa sosial untuk mendalami kebudayaan dari dalam, mengalami sendiri pandangan hidupnya yang kusus, ideal dan nilai-nilai serta artinya.
Para historisis Jerman memandang setiap masyarakat sebagai unik dan hanya dapat dimengerti dalam hubungannya dengan tradisi-tradisi budayanya sendiri.

4. Pragmatisme Amerika dan Psikologi Sosial
Sebagian besar sosiologi Amerika masakini mencerminkan warisan dari sosiologi di Eropa. Oleh Talcot Parsons teori-teori Amerika dimasukkan dalam perspektif sosiologi Amerika. Teori yang dikembangkan adalah perspektif interaksionisme symbol (dalam bidang psikologi sosial). Perkembangan ini dikaitkan dengan aliran Chicago tahun 1920 sampai tahun 1930.
Mentalitas Amerika umumnya tidak tahan akan ide-ide yang sangat spekulatif dan tidak mempunyai nilai praktis. Dalam pragmatisme Amerika, pikiran dan tindakan harus sejalan, sehingga pikiran yang bersifat spekulatif tidaklah relevan.
Mentalitas Amerika yang lain yang turut mempengaruhi sosiologi Amerika adalah individualisme. Tekanan pada individualisme ini mendorong pandangan tingkatan mikro mengenai kenyataan sosial. Kenyataan sosial terdiri dari tindakan-tindakan sosial individu dan pola-pola interaksi serta struktur sosial atau institusi sosial yang dibangun atau diubah oleh persetujuan-persetujuan antarindividu atau kelompok dalam bentuk negosiasi.
Mentalitas Amerika juga optimis terhadap kemajuan dan janji-janji reformasi. Tidak semua ahli sosiologi Amerikapercaya bahwa perubahan sosial yang direncanakan itu harus meningkatkan kemajuan. Ahli sosial berhaluan Darwinis seperti Sunner percaya bahwa kemajuan yang merupakan asil dari suatu proses evolusi alamiah dan perubahan-perubahan yang direncanakan itu tidak harus membantu proses ini.
Singkatnya, sosiologi Amerika sejak semula sudah bersifat pragmatis, individualistis dan optimis.

Penutup
Baik sumber-sumber yang dulu maupun perspektif masa kini tidak ada yang dapat memberi jawaban terakhir secara memuaskan terhadap semua persoalan manusia sebagai mahluk sosial. Melihat kenyataan sosial yang terus menerus berubah dengan pesatnya, suatu teori sosiologi yang defenitif yang mampu menggambarkan dan menjelaskan kenyataan sosial secara pasti dan mencapai kesimpulan akhir secara intelektual, adalah hal yang tak mungkin.

selamat datang !

terima kasih anda bergabung dengan blog BRS (Bunga Rampai Sosiologi) ini.
mudah-mudahan penjelajahan anda masuk ke blog ini tidak sia-sia dan mendapatkan apa yang ingin anda cari.
sedapat mungkin info seputar sosiologi, dapat anda peroleh di blog ini.
(paul senoda ola hadjon)