Teori dan Kehidupan Sehari-hari
Sadar atau tidak, semua orang berteori. Berteori dengan jalan memberikan interpretasi itu sangat penting, karena diperlukan untuk menjelaskan peristiwa.
Teori muncul karena adanya suatu kebutuhan manusia untuk memberikan penjelasan akan berbagai kenyataan yang ada.
Caranya dengan jalan menghubungkan situasi sekarang dengan pengalaman di masa lampau atau keputusan-keputusan yang diambil sebelumnya, pengaruh sosial atau tekanan dari orang lain, krisis yang umumnya sedang dihadapi pada waktu itu, atau hambatan dan kesempatan yang tersedia dalam lingkungan itu.
Praktik berteori dalam kehidupan sehari-hari contohnya ketika kita merencanakan atau meramal masa depan. Kegiatan ini menuntut kita untuk merunut fakta yang ada, menelusuri apa di balik fakta dan itu berarti kita telah berteori.
Tidak berarti bahwa ramalan kita 100% tepat.
Tapi paling tidak kita dapat membuat dugaan-dugaan dan karenanya kita bisa menyesuaikan perilaku kita sekarang untuk menyesuaikan dengan harapan-harapan kita di masa depan.
Contoh konkritnya: dalam memilih karir, mendidik anak, membuat strategi pemasaran, membuat kebijakan politis, dan sebagainya.
Semuanya memerlukan teori-teori untuk mendukung kita mengambil keputusan yang paling baik.
Walau tidak seutuhnya, diakui bahwa sebagian besar tindakan manusia mencerminkan suatu perpektif teoretis.
Teori Implisit dan Teori Eksplisit
Teori yang dipergunakan orang dalam kehidupan sehari-hari biasanya bersifat implisit, dan tidak eksplisit, artinya orang secara tidak sadar akan asumsi-asumsi teoritis yang menjadi penjelasan atau ramalannya, atau akan struktur logis dari kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi banyak orang, teorinya mungkin tetap bersifat implisit, tetapi ada orang lain yang menjadi lebih sadar, di mana dalam hal-hal tertentu dari teori-teori mereka yang implisit itu menjadi eksplisit dan tunduk pada analisa obyektif atau analisa kritis.
Tantangan terhadap Teori Implisit dan Munculnya Teori Eksplisit
Teori-teori secara implisit itu akan tetap saja demikian, sepanjang orang tidak sadar akan perpektif-perspektif lainnya dan selama kebiasaan atau kepercayaan tradisional itu tidak mendapat tantangan.
Tantangan itu dapat muncul dari beberapa sumber di antaranya :
(1) Komunikasi antar masyarakat atau antarbudaya
(2) Tingkat penyimpangan yang tinggi, misalnya disebabkan adanya kelompok-kelompok anti status quo, yang dapat merangsang upaya sadar diri dari suatu kelompok masyarakat.
Dalam suatu tatanan masyarakat yang cenderung sangat stabil, yakni yang terisolasi dari masyarakat lainnya, kebanyakan orang tidak memikirkan asumsi-asumsi dasar dalam pandangan hidupnya atau implikasi teoretis dalam tata cara atau kebiasaan kesehariannya.
Sedangkan pada masyarakat dengan tingkat perubahan sosial yang pesat, ada banyak orang yang merefleksikan kebiasaan dan kepercayaan yang ada dalam lingkungan sosialnya secara langsung dengan suatu sikap intelektual yang netral dan obyektif.
Namun dapat saja terjadi dalam komunitas yang relatif stabil ada orang yang mampu berfikir dinamis, dan dalam komunitas yang dinamis ada pula orang-orang cenderung statis.
Perubahan sosial yang pesat biasanya disertai munculnya ketegangan dan perpecahan dalam struktur sosial dan kesenjangan budaya serta diskontinuitas. Semua ini dialami sebagai masalah-masalah sosial di mana tradisi yang sudah mapan tidak mampu menjawabnya. Maka orang mulai mempertanyakan asumsi-asumsi tradisonal lalu mengubah, menyesuaikan atau menciptakan asumsi-asumsi baru.
Pengalaman akan adanya marginalitas sosial dapat juga mendorong terjadinya refleksi yang sadar akan kenyataan sosial.
Marginalitas berarti bahwa seseorang itu berada hampir di luar batas suatu kelompok atau suatu satuan budaya; dia terlibat di dalamnya tapi tidak secara penuh; dia mampu berinteraksi dengan mereka yang berada di dalam kelompok itu, tetapi sebagai orang luar, yang tidak menerima kenyataan sosial itu secara penuh, secara implisit dia diterima oleh orang ‘dalam’ yang beranggota penuh.
Teori Implisit versus Teori Eksplisit dan Konstruksi Sosial Mengenai Kenyataan
Dalam proses menciptakan atau mempertahankan kenyataan sosial, kita semua berteori – sadar atau tidak. Kita mampu menarik benang merah dari pengalaman langsung atau fakta dari situasi kita sendiri dengan maksud untuk menginterpretasi, menjelaskan, meramal dan merencanakan kehidupan kita sehari-hari. Namun kita tidak selalu sadar akan asumsi-asumsi implisit yang menjadi dasar kesimpulan ini, dan kita tidak selalu menghargai bahwa asumsi-asumsi ini diciptakan oleh manusia dalam berkehidupan sosial.
Kesadaran kita akan asumsi-asumsi teoretis yang kita miliki dan akan sifatnya yang tidak sempurna, yang diciptakan dalam kehidupan sosial, mungkin akan ditimbulkan oleh pengalaman apa saja di mana kebiasaan-kebiasaan yang mapan menjadi tidak sesuai atau tidak relevan dan harus diubah, atau di mana kita dipaksa untuk membenarkan atau mempertahankan asumsi-asumsi ini, atau membuat pilihan-pilihan yang tidak biasa di antara alternatif-alternatif.
Hal tersebut, bila digabungkan dengan perspektif ilmiah, akan merangsang proses berteori secara eksplisit atau secara sadar. Sesungguhnya bila kita berkomitmen terhadap metode-metode akan mampu menjelaskan berbagai gejala sosial dengan menggunakan perspektif ilmiah.
Konteks Sejarah Lahirnya Perspektif Sosiologi
1. Pemikiran Sosial Sebelum Perkembangan Sosiologi
Pada tahun 1400an M, atau 400 tahun sebelum August Comte, Ibn Khaldun dari Arab merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden yang ‘keras’ dan masyarakat ‘halus’ bertipe menetap dalam hubungan yang kontras. Usaha Khaldun untuk menjelaskan proses sejarah timbul tenggelamnya peradaban dibuat dengan menggunakan perbedaan yang kontras ini. Penghalusan budaya yang terdapat dalam peradaban-peradaban yang sudah berkembang jauh merupakan produk masyarakat yang sudah menetap; tetapi mekarnya peradaban dibarengi oleh suatu kerinduan yang semakin bertambah akan kemewahan dan kenikmatan, oleh suatu sistim otoritas politik yang lebih terpusat, dan oleh berkurangnya solidaritas atau esprit de corps secara bertahap sebagai akibatnya. Jadi peradaban-peradaban ditakdirkan berkembang untuk kemudian ditaklukan oleh bangsa nomaden yang kemudian meniru gaya hidup yang halus dan seterusnya menjadi sebuah siklus hidup masyarakat di gurun.
Sikap ilmiah Khaldun dalam menganalisa dan menjelaskan gejala sosial di jamannya sudah mendekati bentuk penelitian ilmiah modern dan isinya secara substantif dapat disejajarkan dengan teori sosial modern.
Di Eropa sendiri, sejarah timbulnyapemikiran sosial dapat ditelusuri ke Yunani kuno. Diantaranya terdapat filsuf terkenal seperti Plato dan Aristoteles. Pemikiran spekulatif mereka mengenai kodrat manusia serta organisasinegara sangat erat jalinannya dengan keprihatinan mereka untukmeningkatkan hidupyang ‘baik’.
2. Perubahan Sosial yang Pesat dan Munculnya Masyarakat Modern.
Perubahan sosial yang pesat cenderung meningkatkan orang dalam memikirkan secara matang-sadar tentang bentuk-bentuk sosial.
Di Prancis, Revolusi Prancis mengakibatkan perubahan tidak saja dalam struktur politik, tapi juga berpengaruh besar pada perubahan di bidang ekonomi dan stratifikasi sosial. Dampak Revolusi Prancis mendorong Comte berupaya menjelaskan seluruh peristiwa menurut model teoretisnya mengenai perubahan sosial dan kemajuan dan membangun gagasan untuk mengorganisasi masyarakat kembali menurut prinsip-prinsip ilmiah yang diyakininya.
Di Inggris, Revolusi Industri mendorong ahli teori sosial seperti Herbert Spencer dan Karl Marx yang berupaya menjelaskan mengenai tipe keteraturan sosial baru yang muncul sebagai konsekuensi pertumbuhan dunia industri. Revolusi Industri tersebut telah merusak hubungan-hubungan sosial yang tradisional dan menciptakan perpecahan, sekaligus membentuk basis potensial untuk suatu jenis keteraturan sosial yang baru.
Hal yang sama terjadi di Jerman. Industrialisasi dan pergolakan politik telah memunculkan Max Weber. Dalam perubahan sosial itu, suatu segi yang penting menarik perhatian Weber adalah pengaruh yang semakin nyata dari bentuk-bentuk organisasi sosial hirarkis yang bersifat rasional.
Perubahan-perubahan sosial yang pokok itu terjadi bersamaan dengan perubahan yang mendasar dalam pandangan hidup yang dominan yang dipergunakan sebagai dasar untuk menginterpretasi dan menjelaskan lingkungannya. Kepercayaan agama tradisional menurun dengan pesat dibandingkan kemajuan dalam bidang mentalitas ilmiah yang tidak terelakkan.
Namun, meski telah terjadi kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, pengagungan terhadap kemampuan akal budi manusia yang meluap-luap dan optimistic di abad ke-18 menjadi sangat berkurang selama abad ke-19. Yakni ditandai oleh kesadaran yang semakin bertambah akan keterbatasan akal budi dan akan sejumlah dasar-dasar nonrasional dari motivasi manusia dan institusi-institusi sosial.
Pada pertengahan abad ke-19, Comte melihat bahwa perlu ada ‘agama baru’ yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. untuk membangun suatu keteraturan sosial yang baru. Hal ini disebabkan, pemahaman intelektual tak mampu menghasilkan perasaan altruistik seperti pada agama-agama tradisional, sedangkan agama sendiri pada waktu itu sedang mengalami kemunduran akibat pertumbuhan mentalitas yang baru. Karenanya Comte meluncurkan ilmu baru yakni Sosiologi, dengan merilis buku The Course of Positive Philosophy, terbit antara 1830-1842.
3. Pertumbuhan Mentalitas Ilmiah
Pada awal abad ke-19, metode ilmiah sudah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan fisik. Terjadi konflik antara perspektif ilmiah dan perspektif agama, di antaranya mengakibatkan ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo diasingkan oleh gereja. Konflik semakin memanas dengan publikasi Darwin di tahun 1859 tentang teori evolusi biologi.
Pertumbuhan sikap ilmiah itu juga telah mendorong berkembangnya teknologi, yang kemudian melahirkan Revolusi Industri. Revolusi Industri kemudian membawa dampak kepada perubahan sosial dengan terjadinya perpecahan sosial yang serius dan munculnya kekuatan-kekuatan sosial baru.
Manusia lalu berfikir untuk bisa memecahkan persoalan-persoalan sosial dengan menggunakan metode-metode ilmu pengetahuan. Dalam ambivalensi antara runtuhnya tradisi dan munculnya masyarakat industri - yang nampaknya tidak memiliki dasar moral yang kuat dalam komunitas yang stabil, tapi mereka yakin bahwa metode ilmu pengetahuan dan wawasan yang berasal dari analisa ilmiah adalah penting untuk mengerti dan mempengaruhi arah perubahan sosial di masa mendatang.
Bertumbuhnya mentalitas ilmiah meliputi konsep baru mengenai hakikat manusia danmasyarakat. Tetapi arti dari ‘ilmu tentang masyarakat’ dapat berbeda-beda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Contohnya bila kita bandingkan antara para ahli teori sosial Prancis dengan Jerman.
Para ahli dari Prancis cenderung melihat manusia dan masyarakat sebagai bagian dari alam, dengan perilaku manusia yang tunduk pada hukum-hukum alam dengan metodologi ilmiah yang sama seperti pada ilmu-ilmu fisik.
Sedangkan ahli dari Jerman melihat persoalan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan namun berbeda dari ilmu-ilmu fisik. Dalam ide Weber tentang hakikat ilmu sosial, itu mencakup arti dan kemauan manusia, maka diperlukan teknik dan metode-metode pemahaman yang berbeda. Ilmu-ilmu alam berhubungan dengan hukum-hukum keharusan dan bersifat deterministik, tetapi ilmu-ilmu sosial budaya berhubungan dengan kebebasan dan kreativitas.
Dengan bertambahnya pengetahuan tentang masyarakat lain, terutama yang disebut dengan masyarakat primitif, memungkinkan orang untuk mempersoalkan danmengadakan spekulasi yang ekstensif mengenai sumber-sumber dan batas-batas variasi budaya, dan tentang bagaimana masyarakat berkembang dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Para ahli boleh saja berbeda dalam merenungkan masa depan secara pesimistis atau optimistis, namun mereka telah mengembangkan model-model perubahan sosial yang memperlihatkan bagaimana yang sekarang ini sudah munculdi masa lampau, dan dari pola-pola serta kecenderungan yang ada sekarang, diproyeksikanlah bentuk masyarakat di masa yang akan datang.
Perubahan Sosial Masa Kini dan Teori Sosiologi
Kita hidup dalam satu masyarakat dinamis yang mengalami perubahan pesat.
Perubahan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak pada perubahan sosial.
Tentang krisis minyak dan energi, William R. Burch Jr, mengemukakan argumentasinya bahwa kelimpahan materi yang tidak pernah terjadi sebelumnya sebagai hasil dari kemajuan teknologi benar-benar merupakan suatu penyimpangan dari pola umum yang terdapat dalam sejarah; dia menyarankan supaya kita sekarang ini mencoba mengakhiri masa abnormal ini. Ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan kita dengan lingkungan fisik terungkap secara dramatis dengan mengosongnya sumber-sumber energi murah.
Perubahan sosial lain yang terjadi di masa kini seperti hilangnya kepercayaan terhadap institusi-institusi sosial yang sudah mapan (terutama institusi politik dan ekonomi), mempertanyakan otoritas, menurunnya etika kerja tradisional, dan penolakan terhadap ‘teknokrasi’ yang semakin meluas, dan banyak hal-hal lain dalam organisasi birokratis.
Teori sosiologi tidak serta merta mampu menginterpretasi kenyataan sosial atau meramal masa depan ataupun memberikan solusi terhadap berbagai gejala itu. Tetapi kerangka konseptual dan kerangka intelektual dari perspektif sosiologi serta gaya analisa yang diberikan teori-teori tertentu dapat membantu kita untuk memahami dunia sosial untuk menunjang obyektivitas, kepekaan dan efektivitas dalam berinteraksi dengan orang lain.
Akar-akar Sejarah Teori Sosiologi
Sumber-sumber sejarah yang penting dalam teori Sosiologi :
1. Politik Ekonomi Laissez-Faire ala Skotlandia-Inggris dan Utilitarianisme Inggris
Teori-teori ini sangat bersifat individualistik dan memandang bahwa manusia itu pada dasarnya bersifat rasional, selalu menghitung dan mengadakan pilihan yang dapat memperbesar kesenangan pribadi atau keuntungan pribadi dan mengurangi penderitaan atau menekan biaya. Penerapan paling nyata dalampasar ekonomi, di mana seorang ‘manusia ekonomi’ mementingkan perhitungan dalam menentukan pilihannya.
Untuk menjelaskan masyarakat atau struktur sosial, ‘kontrak sosial’ dapat merupakan suatu bentuk asumsi yang terdapat di dalamnya. Asumsinya, manusia yang bertindak atas dasar kepentingan diri secara rasional, secara suka rela masuk ke dalam suatu persetujuan secara sadar di mana mereka membatasi otonomi individunya sendiri, menciptakan suatu pengaturan dan bersepakat mematuhi peraturan yang dikembangkan untuk mengontrol kompetisi yang tidak terkendalikan dan menjamin sekurang-kurangnya kerja sama.
2. Positivisme Prancis Pasca Revolusi
Tokohnya : St. Simon, Comte dan Durkheim.
Kata ‘positivisme’ menunjuk pada pendekatan terhadap pengetahuan empiris.
Menurut pendekatan ini, semua yang kita tahu akhirnya berasal dari pengalaman inderawi atau data empiris. Hal ini memperlihatkan suatu perubahan dari pandangan tradisional yang menerima wahyu atau tradisi sebagai suatu sumber pengetahuan yang lebih mendasar daripada data yang diperoleh oleh indera manusia.
Tetapi menurut kaum positivis, kepercayaan menurut agama hanyalah tahyul yang suatu saat akan tergantikan oleh ilmu pengetahuan.
Pertumbuhan sosiologi di Prancis mencerminkan keyakinan bahwa masyarakat atau kehidupan sosial merupakan bagian dari alam dan dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang dapat ditemukan dengan menerapkan teknik ilmiah yang sama seperti pada bidang ilmu lainnya.
Hukum-hukum itu dapat dipergunakan sebagai dasar untuk perubahan sosial dan reorganisasi masyarakat. Keteraturan sosial dan kemajuan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah,maka perdamaian dan pencerahan akhirnya akan menggantikan perang, konflik, tahyul dan kemajuan.
Pemerintah harus berperan utama, tapi harus bertindak sesuai dengan hukum-hukum alam yang ditemukan oleh ahli sosiologi.
3. Historisisme Jerman
Tokohnya : Hegel, Karl Marx dan Max Weber.
Berlawanan dengan positivisme Prancis, tradisi historis Jerman menekankan perbedaan antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Hukum alam menentukan peristiwa-peristiwa dalam dunia fisik,tetapi dunia manusia adalah dunia kebebasan dan pilihan-pilihan yang bersifat sukarela, tidak deterministic seperti pada ilmu-ilmu fisik.
Untuk mengerti atau menjelaskan perilaku manusia,dituntut lebih dari sekedar menggambarkan pernyataan-pernyataan yang ada di kulit luar. Sebaliknya, perlu mendalami artinya yang berarti sadar akan orientasi subyektif dan maksud-maksud individu yang terlibat di dalamnya. Untukmengerti dinamika sustu masyarakat, perlu bagi seorang penganalisa sosial untuk mendalami kebudayaan dari dalam, mengalami sendiri pandangan hidupnya yang kusus, ideal dan nilai-nilai serta artinya.
Para historisis Jerman memandang setiap masyarakat sebagai unik dan hanya dapat dimengerti dalam hubungannya dengan tradisi-tradisi budayanya sendiri.
4. Pragmatisme Amerika dan Psikologi Sosial
Sebagian besar sosiologi Amerika masakini mencerminkan warisan dari sosiologi di Eropa. Oleh Talcot Parsons teori-teori Amerika dimasukkan dalam perspektif sosiologi Amerika. Teori yang dikembangkan adalah perspektif interaksionisme symbol (dalam bidang psikologi sosial). Perkembangan ini dikaitkan dengan aliran Chicago tahun 1920 sampai tahun 1930.
Mentalitas Amerika umumnya tidak tahan akan ide-ide yang sangat spekulatif dan tidak mempunyai nilai praktis. Dalam pragmatisme Amerika, pikiran dan tindakan harus sejalan, sehingga pikiran yang bersifat spekulatif tidaklah relevan.
Mentalitas Amerika yang lain yang turut mempengaruhi sosiologi Amerika adalah individualisme. Tekanan pada individualisme ini mendorong pandangan tingkatan mikro mengenai kenyataan sosial. Kenyataan sosial terdiri dari tindakan-tindakan sosial individu dan pola-pola interaksi serta struktur sosial atau institusi sosial yang dibangun atau diubah oleh persetujuan-persetujuan antarindividu atau kelompok dalam bentuk negosiasi.
Mentalitas Amerika juga optimis terhadap kemajuan dan janji-janji reformasi. Tidak semua ahli sosiologi Amerikapercaya bahwa perubahan sosial yang direncanakan itu harus meningkatkan kemajuan. Ahli sosial berhaluan Darwinis seperti Sunner percaya bahwa kemajuan yang merupakan asil dari suatu proses evolusi alamiah dan perubahan-perubahan yang direncanakan itu tidak harus membantu proses ini.
Singkatnya, sosiologi Amerika sejak semula sudah bersifat pragmatis, individualistis dan optimis.
Penutup
Baik sumber-sumber yang dulu maupun perspektif masa kini tidak ada yang dapat memberi jawaban terakhir secara memuaskan terhadap semua persoalan manusia sebagai mahluk sosial. Melihat kenyataan sosial yang terus menerus berubah dengan pesatnya, suatu teori sosiologi yang defenitif yang mampu menggambarkan dan menjelaskan kenyataan sosial secara pasti dan mencapai kesimpulan akhir secara intelektual, adalah hal yang tak mungkin.